Senin, 27 April 2015
HARI ini, 42 tahun silam, tepatnya 27 April 1973, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dibentuk sebagai wadah kerukukan tani yang dimaksudkan untuk mewadahi banyak organisasi petani di Tanah Air. Itikad 42 tahun lalu tersebut mencuat karena teramat banyaknya organisasi tani yang menurut pemerintah perlu disatusuarakan. Demi pembangunan nasional yang ingin melepaskan diri dari ketergantungan akut sistem pangan nasional Indonesia terhadap importasi pangan global.
Bersama banyak faktor lain yang mendukung upaya menuju swasembada beras seperti Bimas-Inmas, penyuluhan pertanian, Insus, pembangunan waduk dan irigasi, benah kelembagaan, dan sebagainya. Penyatuan organisasi tani dalam pemerintahan yang monolitik-sentralistik saat itu dipandang sebagai cara jitu memudahkan pengelolaan pembangunan pertanian nasional. Apapun implikasinya, melalui pendekatan dimaksud mobilisasi petani telah sukses dilakukan.
Kulminasinya, 11 tahun kemudian tercapailah swasembada beras, 1984. Tentu amat monumental bahwa prestasi swasembada dimaksud ditandai dengan anugerah penghargaan FAO kepada Presiden RI dalam upacara perhelatan Harlah ke-40 lembaga pangan sedunia tersebut di Roma, 14 Nopember 1985. Keswasembadaan, terutama beras telah menjadi pilihan utama program pembangunan dalam konfigurasi politik pemerintahan selanjutnya.
Hari ini, ketika Republik sudah sampai pada Presiden ke-7, Pemerintahan Jokowi tidak juga melepaskan urusan keswasembadaan beras. Karena posisi strategis yang tidak pernah melemah, kalau tidak bisa disebut justru makin menguat karena berkaitan dengan ancaman kelaparan global. Sementara, secara finansial nilai uang minimal terkait swasembada beras yang setara konsumsi tahunan 31 juta ton beras, lebih dari Rp 226,3 triliun, berdasarkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras menurut Inpres 5/2015 sebesar Rp 7.300/kg.
Sekian lama pemerintahan reformasi berjalan, selama itu pula nyaris tidak terjadi benah infrastruktural. Pembangunan waduk, penataan sistem irigasi dan sejenisnya, boleh dikatakan tidak ada selama 17 tahun belakangan. Kemerosotan kinerja persawahan tentu menyertai. Mengawali Pemerintahan Jokowi, dicanangkanlah kembali pendekatan infrastuktural yang memang sangat diperlukan. Tentu saja pendekatan-pendekatan lain turut serta pula untuk mendukungnya secara simultan bagi terwujudnya swasembada beras 2018.
Alasannya, keswasembadaan pangan, utamanya beras, memang sebuah keharusan Indonesia. Kecuali diperlukan guna melandasi kedaulatan pangan, keswasembadaan dibutuhkan sebagai kendali, tidak hanya bagi stabilitas pangan, tetapi sekaligus bagi stabilitas perekonomian nasional. Hal ini mengingat keterkaitan erat kinerja pangan yang selalu terukur dalam relasi empat hal: pertama, gerakan harga pasar pangan yang harus menjamin stabilitas; kedua, daya beli publik yang sangat terbatas; ketiga, kesejahteraan petani yang menurut UU 19/2013 harus dilindungi; dan keempat peta konsumsi mayoritas rakyat banyak yang didominasi konsumsi pangan.
Perihal terakhir, tentang cunsumption bundle, peta konsumsi yang didominasi pangan, tentu terkait erat dengan tingkat kesejahteraan rakyat, dan sekaligus memiliki implikasi tersendiri dalam pengelolaan kinerja ekonomi makro. Apapun yang terjadi terhadap pasar pangan, karena dominasi konsumsi ini akan sangat berpotensi mempengaruhi stabilitas nilai uang, inflasi maupun deflasi.
Hal sebaliknya sudah barang tentu harus dicermati. Ketika terjadi perubahan kinerja perekonomian yang berpotensi memicu inflasi, (inflationary), seperti naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), merosotnya nilai tukar rupiah, dan sebagainya, maka dominasi pangan dalam peta komsumsi, semakin menonjol, dan pengaruhnya terhadap kemerosotan nilai uang semakin kentara. Manakala pasar pangan 'kesetrum' inflasi meski sekadar sebagai penerus saja, remittance maka potensi inflationary pangan akan menjadi-jadi. Dengan akibat luar biasa bagi konsumen dan produsen pangan, dan pada gilirannya bagi perekonomian nasional.
Perspektif strategis inilah sebetulnya yang harus dicermati dengan hati-hati dalam pengelolaan pangan karena keterkaitan massifnya bagi masyarakat, produsen dan konsumen. Tanpa kehati-hatian pengelolaan, niscaya rakyat tani miskin (RTM), dan sektor pangan akan senantiasa diposisikan sebagai bemper inflasi dan tumbal stabilitas perekonomian.
Solusi fiskalnya harus strategis. Dengan tiadanya kesesuaian dukungan fiskal yang memadai, sungguh tidak bisa dipahami RTM dan organisasi tani mana pun. Andaikata dalam menghadapi gejala inflationary, pemerintah cenderung bersikap bahwa semua barang bisa dan boleh naik harganya, semaunya, kecuali produk pangan.
Prof Dr M Maksum Machfoedz
(Penulis adalah Ketua PB NU, Guru Besar UGM)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3987/dirgahayu-hkti.kr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar