Rabu, 01 April 2015
JurnalJakarta.com - Pengamat ekonomi Didik J Rachbini mengatakan, Harga beras di Indonesia lebih mahal 70% dari harga internasional, sehingga selalu menggoda para mafia beras untuk mengimpor. Disparitas yang besar ini perlu segera diperkecil dengan memperbaiki pengelolaan prapanen dan pascapanen agar harga beras dalam negeri tidak membebani rakyat. Selain itu, disparitas yang rendah mengurangi daya tarik para mafia beras yang selama ini menangguk untung dari impor beras hingga puluhan triliun rupiah setahun.
Ia berharap Pemerintah harus menaikkan produksi beras dengan membenahi masalah on farm (budidaya) yang menyebabkan rendahnya produktivitas, baik karena buruknya bibit, rusaknya saluran irigasi, mahalnya pupuk, hingga rendahnya teknologi. Pembenahan of f farm (pascapanen) juga harus dilakukan, mulai dari menurunkan tingkat kehilangan hasil yang sekitar 15% akibat mesin penggilingan tua hingga memberantas mafia yang telah 'menguasai' sejumlah oknum Perum Bulog.
Distorsi harga beras bisa terlihat pada Februari 2015, yang secara umum terjadi deflasi sebesar 0,36%, namun harga beras di Indonesia naik. Kemendag mencatat, harga pada Februari mencapai Rp 9.767 per kg, meningkat 3% dibanding pada Januari yang sekitarRp 9.494 per kg. Padahal, berdasarkan data Index Mundi, harga beras internasional turun 0,04% dari US$ 409,68 per ton menjadi US$ 409,50 per ton.
Menurut dia harga beras di Indonesia sangat mahal dan produktivitas tanaman padi rendah akibat berbagai masalah dari hulu hingga hilir. Akibatnya, harga beras di dalam negeri jauh lebih mahal dari negara sekitar.
"Harga beras premium (broken 5%) internasional pada Februari 2015 hanya US$ 400 per ton atau setara Rp 6.300 per kg di pedagang besar di Indonesia, dengan asumsi margin 20%. Namun, harga beras di dalam negeri tinggi, 70% di atas harga dunia. Ekonomi politik beras sudah mengalami distorsi atau menyimpang jauh, yakni harga beras sudah hampir dua kali lipat dibandingkan harga internasional di negara sekitar kita," katanya di Jakarta, Selasa (31/3).
Rendahnya produktivitas di Indonesia karena masalah dasar yang terletak pada sistem produksi yang rapuh. Ini karena hancurnya sistem irigasi, sistem penyuluhan desa, pascapanen, hingga degradasi kesuburan tanah dan alih fungsi lahan. Proteksi yang dilakukan tidak berhasil menjadi insentif produksi dan pendorong petani berproduksi maksimal untuk mencapai swasembada beras.
Kebijakan harga tinggi di dalam negeri tidak menjadi dorongan bagi petani untuk berproduksi maksimal. Dia menilai, kebijakan pangan baru hanya jargon yang ternyata tidak bergigi dan menjadi macan ompong berhadapan dengan kekuatan pedagang beras. Pedagang mempunyai peluang mendongkrak harga saat pasokan turun seperti kasus yang terjadi pada Februari lalu.
"Pasokan beras kurang, tetapi pemerintah deklarasi tidak impor. Padahal sebenarnya pasokan sudah kurang sejak akhir tahun 2014. Stok Bulog itu batas amannya 2 juta ton (+/- 10%), namun pada akhir 2014 hanya 1,8 juta ton dan Februari 2015 turun menjadi 1,4 juta ton," ujar Didik.
Kondisi di lapangan pasokan beras juga berkurang drastis, lanjut dia, namun tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah, dalam hal ini Bulog, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Hal ini bisa dilihat pada stok di Pasar Induk Cipinang Jakarta pada Februari lalu yang hanya 23-24 ribu ton dan pemasukan harian 1.700 ton. Padahal, batas aman stok 30-35 ribu ton dan pemasukan harian 2.500-3.000 ton.(id/jj)
http://jurnaljakarta.com/berita-4242-harga-beras-di-indonesia-70-lebih-mahal-dari-internasional.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar