Swasembada pangan tidak akan tercapai. Ini akibat konsep kebijakan pangan masih bersandar pada subsidi pupuk, benih dan alat mesin pertanian (alsintan). Reorientasi kebijakan pangan ini harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui subsidi output.
Prof. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MS Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, dalam proses waktu, perbaikan irigasi ini memegang peranan yang penting untuk meningkatkan produksi pangan. Namun jauh lebih penting yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan adalah melakukan reorientasi kebijakan pangan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
“Tidak seperti yang dilakukan pemerintah saat ini dengan memberikan subsidi pupuk, benih, perbaikan irigasi dan pemberian traktor,” tegasnya.
Padahal, katanya, yang dibutuhkan petani sekarang adalah subsidi output atau harga. Berikan jaminan harga yang baik terhadap petani. Apabila ini dilakukan, maka pendapatan dan kesejahteraan petani menjadi meningkat. Otomatis produksi pangan akan meningkat dengan sendirinya. Jadi kebijakan pertanian musti diubah agar Indonesia bisa mencapai swasembada pangan.
“Hapus subsidi pupuk, benih dan subsidi lainnya. Kemudian diganti dengan cash direct transfer atau pemberian uang langsung ke petani. Atau cabut subsidi pupuk maupun benih untuk dialihkan ke subsidi output. Petani akan membeli pupuk atau benih sendiri. Ini yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah,” tandasnya.
Menurutnya, pemerintah harus mengubah konsep yang sudah dilakukan, karena kalau yang dijalankan business as usual seperti halnya 10 tahun lalu. “Hasilnya sudah pasti swasembada pangan gagal tercapai. Impor pangan kita melonjak sampai 346% selama 10 tahun,” tukas Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) itu.
Dia menambahkan, target pemerintah tahun ini akan menyetop impor beras sama sekali dan ingin ekspor beras sebesar 1 juta ton ini sulit tercapai. “Ini harus hati-hati untuk membuat kebijakan karena masalah data produksi maupun konsumsi beras masih amburadul. Ketersediaan stok pangan nasional tahun lalu dan awal tahun 2015 ini merupakan terendah selama tiga tahun belakangan,” ungkap Dwi.
Dwi memperkirakan, stok pangan akan menurun sekitar 15% di tahun 2015. Ini yang harus diwaspadai karena produksi saat ini belum sebaik dua tahun lalu. Dikhawatirkan El Nino berlanjut di tahun ini, imbasnya musim tanam mundur seperti tahun lalu. Maka akan terjadi bencana, apalagi pemerintah sudah jauh-jauh hari ingin menyetop impor beras.
“Manajemen pangan harus dilakukan dengan cermat. Jika salah mengelola, maka akan terjadi kenaikan harga pangan yang tinggi. Dalam 10 tahun terakhir kenaikan beras sampai 30% baru terjadi pada awal tahun ini,” ujar Dwi.
Dia mengatakan, sejauh ini peran pemerintah dalam meredam lonjakan harga beras kemarin lumyan baik, dengan melakukan operasi pasar (OP) oleh Bulog. Akan tetapi, hal itu bersifat alamiah saja yang terjadi. Sekarang harga beras turun, jelas karena sudah masuk masa panen padi. Otomatis harga beras turun dan pedagang mulai melepas stoknya ke pasar. Jadi mekanisme ini sudah terjadi secara alamiah. Ini seolah mekanisme pemadam kebakaran. “Padahal yang lebih penting mencegah terjadinya kebakaran,” tandasnya.
Meskipun, katanya, peran OP beras dalam menurunkan harga beras tidak terlalu besar. Kenaikan harga beras sampai 30% dikarenakan pemerintah tidak mengantisipasi sebelumnya.
Berdasarkan perhitungan, Indonesia impor beras tahun 2014 mencapai 1,5 juta ton untuk stabilitasi harga beras. Namun realisasinya sekitar 1,2 juta ton. Jadi masih ada kekurangan sekitar 350.000 ton. Itu sebenarnya penyebab harga beras menjulang tinggi di awal tahun ini.
“Jadi ketersediaan stok beras yang rendah mengakibatkan harga beras naik. Ini menjadi penyebab terbesar melonjaknya harga beras. Ditarik mundur lagi ini akibat turunnya produksi beras 2014 dan musim tanam padi mundur,” ujar Dwi kepada Agrofarm.
Kemudian terkait kedelai dan jagung produksinya meningkat, akan tetapi di satu sisi produksi beras menurun di tahun 2014. Ini terjadi karena terjadi trade off antara produksi padi dengan kedelai dan jagung. Biasanya produksi padi menurun, namun produksi jagung dan kedelai meningkat. Sedangkan sebaliknya, apabila menggenjot produksi padi di tahun 2015, maka jika produksi padi naik, dipastikan produksi jagung dan kedelai akan turun.
“Ini terjadi akibat ketiga komoditas ini menggunakan lahan yang sama. Tahun 2015 sulit mencapai target produksi jagung sebesar 20 juta ton, karena diperkirakan impornya masih sekitar 3 juta ton. Sementara itu, diprediksi impor kedelai masih tinggi di kisaran 2 juta ton. Jadi impor untuk kedua produk pangan ini masih relatif besar di tahun ini,” ungkap Dwi.
Padahal katanya, untuk memecahkan persoalan kedelai itu cukup sederhana. Dahulu Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai karena harga kedelai 1,5 kali dari harga beras. Sekarang harga kedelai di bawah harga beras. Ini tidak masuk akal, karena apapun kedelai bukan makanan pokok. Maka untuk mencapai swasembada kedelai adalah jaminan harga oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus menaikkan harga beli petani (HBP) kedelai.
Meskipun, ada rencana pemerintah untuk meningkatkan HBP kedelai menjadi Rp 8.500 per kilogram. Ini belum signifikan terhadap minat petani dalam menggenjot produksi kedelainya.
“Sementara itu, kenaikan HPP beras sebesar Rp 3.7000 per kilogram ini masih jauh dari harapan petani. Ini tidak masuk akal karena sudah tiga tahun HPP tidak naik. Naik cuma 10%, dibandingkan laju inflasi. Jadi pembelaan untuk petani tidak ada,” tegasnya.
Menurutnya, kenaikan HPP gabah pun tidak langsung dinikmati oleh petani karena tidak mempunyai alat pengeringan untuk memperoleh gabah kering panen (GKP). “Jadi yang untung adalah pengumpul dan pedagang. Usulan petani HPP GKP bisa naik berkisar Rp 4.00-4.500 per kilogram,” ujar Dwi.
Dia menambahkan, minimum pemerintah bisa menaikkan HPP sebesar Rp 4.000 per kilogram. Ini pun kalau pemerintah ingin membela kepentingan petani. Padahal ini mudah, dengan mengalihkan subsidi pupuk dan benih ke subsidi harga gabah.
“Kita harus mereorientasi kebijakan pangan untuk kesejahteraan petani. Ini kunci agar target swasembada pangan bisa tercapai. Sekarang subsidi pupuk yang menikmati kemungkinan adalah para produsen maupun distributor pupuk. Subsidi benih juga tidak karuan dalam pengadaan dan distribusinya ke petani,” tukasnya.
Dia menambahkan, selama ini ketahanan pangan Indonesia relatif rendah. Indonesia berada di urutan nomor 72 dari 109 negara di dunia. Konsep pemerintah tentang ketahanan pangan terbukti lemah dari sisi itu. Oleh karena itu manajemen pangan itu menjadi penting.
Dwi menduga jatuhnya rezim Orde Baru karena terjadi krisis pangan. Pada saat itu Indonesia mengimpor beras terbesar sepanjang sejarah mencapai 6.074 juta ton. “Jadi itu terbesar sepanjang sejarah di Indonesia. Tahun 1997 diperkirakan di Indonesia terjadi krisis pangan,” tegasnya.
Data indeks pertanaman (IP) di Indonesia sekarang hanya 1,4, padahal patokan awal IP sebesar 1,6 atau 1,7. IP sekitar 1,6 itu masa lalu ketika waduk dan bendungan baru dibangun oleh pemerintah pada 20 tahun silam. “IP terus menurun karena selama 30 tahun ini tidak pernah konsen terhadap jaringan irigasi. Artinya data yang biasa kita gunakan selama ini salah,” katanya.
Sementara itu, data konsumsi beras per kapita 139 per tahun ini patut dipertanyakan karena katanya menjadi negara pengkonsumsi beras terbesar di dunia. “Padahal data itu lahir berdasarkan konsensus pada 20 tahun lalu,” tambahnya.
Kemudian data ketersediaan bahan pangan pokok. Anehnya impor gandum tahun 2014 mencapai 7,39 juta ton. Impor gandum terus meningkat setiap tahun, namun pemerintah tidak pernah resah. “Jadi Indonesia sudah masuk fase gandumisasi atau supermisasi, bukan diversifikasi. Perlahan-lahan gandum ini mulai menggantikan makanan pokok Indonesia,” paparnya.
Menurutnya, data produksi beras mencapai 43 juta ton, sementara ketersediaan pangan pokok mencapai 51 juta ton. Kemudian dibagi penduduk indonesia 250 juta orang. Ada persolan dengan produksi beras, karena terjadi surplus sebesar 6,1 juta ton. Namun kondisi di lapangan terjadi goncangan harga beras. Ada persoalan serius terhadap data perberasan.
“Kalau dibilang surplus beras 6 juta ton, berasnya ada dimana?. Kenyataanya tahun 2014 kita minus dengan impor beras mencapai 1,2 juta ton. Jadi ada kerancuan data ini, terutama data luas panen padi diperoleh dari mantri tani dan produktivitas didapat dari mantri statistik. Terkadang kedua mantri ini laporannya tidak beres dari lapangan,” katanya.
Dia menegaskan, ada pembohongan publik terkait data produktivitas padi. Data yang diperoleh di lapangan sekarang produktivitas padi hanya 4-5 ton per hektar. Namun pemerintah mengklaim produktivitas mencapai 8 ton per hektar gabah kering giling (GKG). Apalagi ada laporan dari wilayah Jawa Timur produktivitas padi petani drop akibat serangan hama wereng batang cokelat dan blast. Sehingga diperkirakan produksi padi di Jawa Timur turun pada tahun 2015 ini.
Kemudian tata niaga beras cukup panjang karena harus melewati tujuh mata rantai. Petani ke penebas, kemudian penebas ke pengepul ke penggilingan. Dari penggilingan ke pedagang kecil, lantas ke pedagang besar dan lalu ke pengecer dan barulah sampai ke konsumen. “Ini menjadi penting untuk memperbaiki jalur distribusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani,” pungkasnya. Beledug Bantolo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar