Rabu, 08 April 2015

Pengamanan Inpres Perberasan

Selasa, 7 April 2015

Setelah didesak banyak pihak dan didahului gonjang-ganjing harga beras, akhirnya pemerintah mengumumkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 menggantikan Inpres No 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.

Inpres perberasan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 17 Maret 2015 itu antara lain memuat tentang kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras.

Gabah kering panen di tingkat petani harganya naik dari Rp 3.300 menjadi Rp 3.700 kilogram, di penggilingan naik dari Rp 3.350 menjadi Rp 3.750 kg. Sedangkan harga gabah kering giling naik dari Rp 4.150 menjadi Rp 4.600 kg di penggilingan dan di gudang Perum Bulog naik dari Rp 4.200 menjadi Rp 4.650 kg.

Untuk harga beras kualitas medium naik dari Rp 6.600 menjadi Rp 7.300 kg di gudang Perum Bulog.

Banyak kalangan menilai kenaikan HPP gabah/beras sebesar 10 persen belum mencerminkan keberpihakan pemerintah kepada petani.

Saat ini praktis sudah tiga tahun lebih inpres perberasan baru diganti. Inpres No 3/2012 ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Februari 2012. Selama tiga tahun itu pula harga berbagai sarana produksi yang dibutuhkan petani, seperti benih, obat-obatan, serta bahan bakar minyak untuk traktor dan pompa air, telah mengalami kenaikan berlipat-lipat.

Upah tenaga kerja dan harga barang kebutuhan pokok terus melambung, memicu inflasi dan menekan daya beli petani.

Dampaknya, tingkat kesejahteraan petani tertekan. Hal ini tecermin dari angka nilai tukar petani padi stagnan, bahkan cenderung turun.

Seorang petani penggarap bagi hasil belum lama ini mengeluh kepada penulis bahwa saat ini biaya produksi 0,64 hektar padi (satu bau) Rp 5 juta. Hasilnya ditebas Rp 8,3 juta. Ia selaku penggarap mendapat bagian Rp 5,5 juta (aturan maro telu), untuk membayar utang biaya produksi Rp 5 juta, sehingga yang didapat dari hasil kerja selama empat bulan hanya Rp 500.000.

Gerak cepat

Selain ditunggu-tunggu petani, inpres perberasan yang baru ini juga sangat ditunggu oleh semua pemangku kepentingan dalam kebijakan perberasan, terutama bagi Perum Bulog yang menjadi eksekutor pengadaan gabah/beras di lapangan. Inpres perberasan ini ditujukan kepada sepuluh alamat, yaitu Menko Perekonomian, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, Menteri Sosial, Menteri Badan Usaha Milik Negara, para gubernur, serta para bupati/wali kota.

Untuk pengamanan inpres perberasan ini, semua kementerian/lembaga harus melakukan tugas sesuai yang diamanatkan peraturan tersebut. Mereka diinstruksikan untuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan nasional.

Inpres perberasan ini mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksananya, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan evaluasi. Lebih-lebih bagi Perum Bulog, inpres perberasan tersebut akan dijadikan sebagai payung hukum utama dalam pelaksanaan pengadaan gabah/beras yang diamanatkan pemerintah.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, inpres seperti ini meskipun diberlakukan mulai 1 Januari tahun berikutnya, tetapi selalu diumumkan sekitar bulan Oktober saat sidang kabinet. Hal itu mengandung maksud agar para petani mempunyai hitung-hitungan ekonomi terhadap usaha tani mereka. Jaminan harga pembelian yang telah ditentukan pemerintah diharapkan mampu mendongkrak kegairahan petani untuk meningkatkan produksi.

Pemberlakuan HPP gabah/beras pada panen musim rendeng bukan tanpa maksud. Panen musim rendeng terjadi ketika curah hujan masih cukup tinggi sehingga menyulitkan upaya pengeringan.

Intensitas sinar matahari yang sangat minim membuat upaya pengeringanmenjadi sangat krusial. Dalam kondisi seperti itu gabah menjadi mudah rusak. Akibat lebih jauh para tengkulakakan mudah mempermainkan harga jual gabah petani.

Agar HPP gabah/beras yang baru bisa berjalan efektif, maka semua kelebihan produksi padi (excess supply) harus bisa dibeli Perum Bulog pada tingkat HPP yang telah ditetapkan. Jika Perum Bulog tidak bisa menunaikannya, maka kondisi itu akan mendorong harga gabah/beras turun ke harga keseimbangan pasar saat panen raya. Bisa terjadi harga GKP terus merosot hingga terpuruk di bawah break even point , alias petani tekor.

Respons Bulog

Keterlambatan pengumuman kenaikan HPP gabah/beras ini berimbas pada terlambatnya proses pengambilan keputusan di tingkat instansi/lembaga terkait, khususnya Perum Bulog. Persiapan yang harus dilakukan oleh Perum Bulog yang diberi mandat pemerintah selaku public service obligation memerlukan waktu cukup lama. Hal ini disebabkan untuk pengadaan gabah/beras saat ini Perum Bulog masih mengandalkan peran mitra-mitra Perum Bulog, tidak semuanya bisa langsung membeli kepada petani.

Sementara itu, waktu terus berjalan, ketika Perum Bulog sudah siap melaksanakan proses pengadaan, panen raya padi sudah terlampaui. Kalau sudah ketinggalan kereta seperti ini, maka kebijakan heroik yang ditujukan untuk membantu petani dari keterpurukan harga jual gabah pada saat puncak panen raya tidak tercapai.

Untuk pengamanan inpres perberasan ini, mau tidak mau, suka tidak suka Perum Bulog harus bergerak cepat. Menjemput bola dengan melakukan pembelian langsung ke sawah agar para petani padi dapat menikmati kue pembangunan yang diberikan pemerintah dalam bentuk insentif harga jual gabah/beras yang memadai.

Jangan sampai Perum Bulog menjadi pahlawan kesiangan karena yang diuntungkan justru hanya para tengkulak, pedagang pengumpul, serta pengusaha penggilingan padi besar. Pundi-pundi uang mereka semakin bengkak dengan digulirkannya kebijakan ini.

TOTO SUBANDRIYO

PENGAMAT MASALAH SOSIAL-EKONOMI ALUMNUS IPB DAN MAGISTER MANAJEMEN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

http://print.kompas.com/baca/KOMPAS_ART0000000000000000012741644.aspx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar