FASTNEWS, Jakarta (19/04) – Upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan impor beras pada akhir tahun ini, dinilai tidak mungkin terwujud. Pasalnya, produksi beras dalam negeri yang terus turun tidak memungkinkan hal itu terjadi. Berdasarkan data BPS, produksi padi tahun 2014 sebanyak 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG), turun sebesar 0,45 juta ton (0,63%) dibandingkan tahun 2013.
Menurut Ekonom yang juga Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri, program pemerintah untuk membangun bendungan, pencetakan 1 juta hektar sawah baru, dan saluran irigasi barumembutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga akan berdampak pada peningkatan produksi beras paling cepat tiga tahun ke depan. “Sementara itu konsumsi beras terus mengalami peningkatan,” tegasnya dalam tulisan yang ia publikasikan di blog pribadi, Minggu (19/04/2015).
Menurut Faisal, sejak tahun 2000 hingga 2013 Indonesia selalu mengimpor beras. Dengan rincian selama empat tahun terakhir impor beras di atas 300 ribu ton per tahun. Pada 2013 mencapai 473 ribu tahun, meski turun dari 2012 yang mencapai 1.810 ribu ton dan 2011 mencapai 2.751 ribu ton
“Tampaknya mustahil jika impor tiba-tiba dihentikan. Jika dihentikan otomatis harga beras naik, dengan asumsi stok beras Bulog tak mengalami perubahan,” tambah Faisal.
Menurut Faisal, kalau memang dibutuhkan impor untuk menjaga stabilisasi harga beras, sebaiknya perencanaan impor lebih baik. Jangan mengimpor saat pasar mengetahui kita kekurangan pasokan (shortage) sehingga terjadi lonjakan harga di pasar internasional. Impor bisa dilakukan secara bertahap sehingga tidak terjadi lonjakan harga.
Bulog perlu mengefektifkan pengadaan (pembelian) beras di masa panen untuk menjaga harga gabah kering giling (GKK) tidak anjlok. Masalahnya, petani bias menjual gabah dengan harga di atas harga patokan yang ditetapkan pemerintah, sehingga Bulog terkendala membeli gabah kering langsung dari petani. Muncul pertanyaan: apakah harga yang ditetapkan pemerintah terlalu rendah?
“Agaknya mendesak untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh. Salah satu kuncinya adalah pemutakhiran data secara berkala sehingga perencanaan operasi pasar lebih baik/lebih efektif,” lanjut Faisal.
Lebih jauh diungkapkan Faisal, kenaikan harga beras di tingkat konsumen dalam empat tahun terakhir sekitar 70%, jauh lebih tinggi ketimbang kenaikan harga gabah kering yang hanya naik sekitar 30%. Kenyataan ini menunjukkan kenaikan harga beras lebih banyak dinikmati pedagang ketimbang petani. Oleh karena itu perlu membenahi mata rantai perdagangan beras.
Sebelumnya, di hadapan sekitar 2.000 anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang sedang merayakan Hari Lahir Ke-55 dan Muktamar Pergerakan, Jumat (17/04/2015), Jokowi mengatakan bahwa sudah bertahun-tahun Indonesia menjadi pengimpor 3,5 juta ton beras per tahun. Oleh karena itu, pada akhir tahun lalu, ia mengambil risiko untuk menghentikan impor, meski paham terhadap dampak kenaikan harga yang pasti akan terjadi. FN-05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar