Minggu, 12 April 2015
Jakarta -- Permasalahan beras masih dinilai rumit untuk teratasi bila lembaga yang mengaturnya masih tersentralisasi di tubuh Badan Urusan Logistik (Bulog). Sistem sentralisasi di Bulog yang menjadikan kualitas cadangan pangan nasional masih buruk. Itu juga membuat harga beras di beberapa daerah kerap mengalami pelonjakan.
Pengamat pangan Henry Saragih menyatakan, Presiden Joko Widodo seharusnya membuat kebijakan desentralisasi pengaturan dan pengawasan beras. Selain di pusat, daerah juga harus memiliki lembaga yang memiliki tugas menyuplai dan mengawasi pangan. Apalagi, di dalam UU No 18/2012 tentang Pangan disebutkan bahwa pemerintah harus menjelaskan kelembagaan pangan secara konkret.
"Tapi sampai saat ini belum ada keputusan presiden terkait kelembagaan pangan itu. Jadi Nawa Cita belum bisa dijabarkannya oleh menterinya sendiri, apalagi dijalankan," ucap Henry, melalui sambungan telepon, kepada Media Indonesia, seperti diberitakan Minggu (12/4/2015).
Lembaga pangan di daerah, lanjut dia, dinilai akan lebih mampu mengontrol kualitas beras dan harga beras di daerah. Sistem yang tersentralisasi seperti saat ini menjadi alasan cadangan beras nasional kerap memiliki kualitas yang buruk, meski secara kuantitas telah mencukupi.
"Misalnya ada badan pangan Jawa Tengah. Berasnya yang dikumpul di Jawa Tengah, untuk distribusi transaksi di sana, untuk kepentingan operasi pasar di sana, dan untuk masyarakat yang kurang mampu," lanjutnya.
Ia juga menyarankan Bulog untuk melakukan hal-hal yang lebih kreatif dalam tugas operasionalnya. Tidak hanya bekerja secara sentralistil, tetapi juga membuat terobosan baru untuk meminta wewenang lebih kepada Presiden agar bisa membentuk Bulog di daerah.
"Mestinya Bulog minta Presiden buat aturan tambahan, tapi sementara itu, dia lakukan tugas lebih operasional. Sekarang malah dia lalai memantau harga beras di lapangan," imbuhnya.
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=6952202225085728768#editor/src=header
Tidak ada komentar:
Posting Komentar