Kamis, 10 September 2015

Tempe Makin 'Kece'

Kamis, 10 September 2015

ADAKAH kenaikan harga tahu tempe sebagai lauk mahasiswa? Jawaban "tidak pak" akan langsung terdengar. Namun mahasiswa lainnya, sembari berkelakar menyela: "tetapi makin <I>kece<P>". Karena sekarang tahu dan tempe tidak lagi <I>gembrot<P> seperti sebelumnya. Klarifikasinya, kalau sebelumnya 3-4 potong sudah kenyang, kali ini harus 5-6 potong. Kelipatan nafsu makan, atau lebih tepatnya anggaran <I>jajan<P> sampai 50%. Faktanya, tahu-tempe goreng memang makin <I>kece<P>, langsing dan ramping.

Melompat-lompatnya nilai tukar rupiah yang tak kunjung normal dan hari ini mencapai Rp 14.300 per dolar Amerika Serikat, sungguh telah berakibat sangat fatal bagi rakyat banyak. Karena keterbatasan daya beli untuk memenuhi konsumsi kebutuhan dasarnya terhadap beberapa pangan pokok yang teramat tergantung pada importasi. Sebut saja misalnya, daging sapi, daging ayam, telur, gula, bawang putih, sampai kedelai, semuanya melompat naik harganya.

Komoditas yang disebut terakhir, kedelai, dengan kisaran kebutuhan nasional sebesar 2,55 juta ton pertahun dan realisasi produksi 2014 sebesar 856.000 ton. Dengan target produksi 2015 bisa sampai 1,2 juta ton, maka derajat ketergantungannya terhadap impor masih sekitar 53%. Itu dengan catatan kalau produktivitas nasional pada 2015 terealisir dengan baik. Jikalau produktivitasnya hanya setara 2014, ketergantungannya jadi 67%.

Ironi yang terjadi adalah bergoyangnya harga kedelai di pasar. Bisa naik-turun, meski secara teoritis harusnya selalu naik, karena dominasi importasi dalam konsumsi kedelai dan keterbatasan cadangan produk dalam negeri. Goyangnya harga, baik naik maupun turun, bagi negeri agraris tergantung impor ini tentu sama-sama memerlukan kewaspadaan. Antara harga naik dan dinaikkan, turun dan diturunkan, serta antara kelangkaan dan pelangkaan, masing-masing adalah dua kata dengan implikasi ekonomi-politik yang berbeda sangat nyata.

Yang lumrah terjadi adalah rampingnya tahu-tempe karena naiknya harga kedelai akibat merosotnya rupiah. Sinyal yang membahayakan di sela-sela kemerosotan rupiah dan itu terjadi menjelang pergantian musim tanam adalah ketika harga pasar turun dan tidak mengikuti apa yang seharusnya terjadi. Dalam kondisi inilah kewaspadaan pemerintah sungguh lebih diperlukan untuk menandai apakah memang murah itu akibat mekanisme pasar atau dimurah-murahkan demi kepentingan tertentu yang telah diproyeksikan.

Dengan volume pasar tahunan sebesar 2,55 juta ton pertahun, aneka skenario bisa terjadi untuk kepentingan menggalang rente. Harga yang seharusnya mahal bisa dimurah-murahkan ketika syahwat rente dimaksud berkeinginan untuk membunuh animo produksi para petani untuk bercocoktanam kedelai. Ketika hal tersebut terjadi, maka mudah dipastikan bahwa tujuannya adalah membatasi potensi produksi dalam negeri, sekaligus jaminan kapling impor.

Abnormalitas bisa terwujud berbasis aneka ragam keadaan dan skenario. Semua itu tentu harus dimaklumi sebagai strategi mengais rezeki yang acapkali menghalalkan segala pendekatan. Akan tetapi, satu hal yang tidak bisa dimaklumi adalah ketergantungan menahun konsumsi bahan kebutuhan dasar negeri agraris RI terhadap impor. Terlebih ketika pemerintahan masa kini telah mencanangkan Nawacitanya dan dituntut memandirikan sektor pangan bangsa.

Sederhana sekali kelakar para mahasiswa di ruang kuliah. "Masak sih, urusan tempe saja negeri agraris ini harus tergantung luar negeri?". Tidak mudah juga menjawabnya. Ketika lingkungan globalnya sama, diwarnai oleh semakin merosotnya rupiah, tetapi suatu saat harga kedelai bisa murah, dan di saat sekarang harganya mahal.  Itulah pasar dengan mafiosonya.

Tidak ada pilihan sebetulnya untuk urusan pangan strategis seperti kedelai ini. Sungguh tidak pernah bisa dimaklumi adanya importasi kedelai yang menggunung. Solusinya adalah proteksi dan subsidi. Proteksi dalam hal tataniaga kedelai dari kecenderungan terombang-ambing oleh aneka konspirasi dan kartelisasi. Dan subsidi, melalui kebijakan fiskal yang progresif, diperuntukkan bagi pengembangan produktivitas secara konsisten.
Swasembada kedelai sebagai bagian dari Pajale tentu harus diapresiasi. Tetapi tuntutan konsistensi tidak pernah boleh mengendor, karena fenomena pasar kedelai yang terkadang aneh adalah bukti nyata rendahnya konsistensi. Rakyat Indonesia, konsumen dan produsen hanya menanti realisasi kapan RI tidak tergantung importasi. Semuanya menanti konsistensi itu, bukan menanti janji <I>esuk dhele sore tempe<P>.


Prof Dr M Maksoem Mahfoedz

(Penulis adalah Guru Besar GTP UGM, Ketua PB NU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4171/tempe-makin-kece.kr

1 komentar: