Senin, 21 September 2015

Kepri Meminta Kepastian

Senin, 21 September 2015

Pemerintah Pusat Diminta Memberikan Kuota Impor Pangan

BATAM, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau meminta kepastian pusat soal pasokan pangan dari dalam negeri. Kepastian itu harus ada jika pemerintah pusat tetap melarang impor pangan untuk provinsi perbatasan itu. Karena tidak ada kepastian pasokan pangan dari dalam negeri, impor pangan secara ilegal tak bisa dihindari.

"Saya akan meminta Kementerian Perdagangan meninjau kondisi provinsi ini. Saya tidak bisa membiarkan rakyat Kepri (Kepulauan Riau) kesulitan pangan karena pasokan tidak ada," kata Penjabat Gubernur Kepri Agung Mulyana di Batam, Minggu (20/9).

Selama ini, tidak ada kepastian waktu kedatangan dan jumlah pasokan pangan dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan warga Kepri. Pengiriman pangan di provinsi itu juga tidak bisa dilakukan sepanjang tahun.

"Ini bukan Jawa yang antar- kecamatan bisa naik angkot. Kalau habis di kecamatan sini, bisa naik angkutan umum ke kecamatan lain dan beli pangan di sana. Kalau musim utara dan ombak bisa 5 meter lebih, kapal tidak bisa berlayar di Kepri. Rakyat Kepri mau makan apa?" ujarnya.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perdagangan Batam Rudi Satyakirti mengatakan, paling tidak 90 persen pangan Batam berasal dari impor secara ilegal atau penyelundupan. Seperti kabupaten/kota lain di Kepri, Batam tidak bisa menghasilkan bahan pangan sendiri.

"Masalahnya, hingga sekarang, belum pernah ada kuota impor bahan pangan untuk Batam. Sementara pengadaan dari dalam negeri lebih mahal," ujarnya.

Beras saja, kata Rudi, diimpor 14.000 ton per bulan dari sejumlah negara. "Kuota impor tidak pernah ada, tetapi impor masuk terus. Tidak hanya beras, aneka bahan pangan lain juga seperti itu," ujarnya.

Pintu penyelundupan

Provinsi Kepri menjadi salah satu pintu penyelundupan aneka komoditas ke Indonesia. Hampir setiap jengkal pesisir provinsi itu bisa dijadikan titik pendaratan ilegal. Komoditas yang diselundupkan beragam, mulai dari produk konsumsi hingga yang dilarang beredar. Petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) di Kepri antara lain kerap menangkap kapal pembawa beras, bawang, pakaian bekas, minuman keras, dan narkotika.

"Di Batam saja beroperasi sedikitnya 43 pelabuhan tidak resmi," ujar Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Batam Noegroho.

Kementerian Keuangan pernah meminta Kementerian Perhubungan mengendalikan pelabuhan ilegal. Kementerian Keuangan salah satu lembaga yang berkepentingan mengatasi penyelundupan. Kementerian itu membawahkan DJBC yang salah satu tugasnya mengatasi penyelundupan.

Agung mengatakan, petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hanya pelaksana aturan. Jika pemerintah pusat memutuskan pangan impor boleh masuk, mereka tidak akan melarang. "Kalau dari pusat mengizinkan, tidak ada penangkapan di laut. Saya akan segera menemui Kementerian Perdagangan, minta tidak ada larangan impor pangan di Kepri," kata Agung.

Dia menyatakan siap adu argumentasi dengan Kementerian Perdagangan soal impor pangan di Kepri. Pegangannya antara peraturan soal kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas di Kepri. "Peraturan tidak melarang impor pangan. Kalau tidak dilarang undang-undang, kenapa harus dilarang?" ujarnya.

Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian diminta memberikan kuota impor untuk Kepri. "Kalau khawatir bocor ke daerah lain, beri kuota dan awasi itu. Misalnya, kuota 2.000 ton untuk Batam. Kalau lebih, akan ditindak. Jadi, mengantisipasi beras dikirim keluar dari Kepri. Saya akan tempuh semua cara agar warga di sini tidak kelaparan," kata Agung.

Saat ini saja, kata Agung, sudah ada keluhan soal pangan di Kepri. Warga di Natuna dan Anambas sudah meminta tambahan cadangan menjelang musim utara yang akan melanda mulai Oktober hingga Februari. Selama musim utara, kapal-kapal kerap tidak diizinkan berlayar karena alasan keamanan. Saat itu, ombak bisa mencapai 6 meter dengan kecepatan angin lebih dari 25 kilometer per jam.

Sementara warga di Lingga protes karena pasokan pangan tersendat. Selama ini, pangan Lingga dipenuhi dari Batam dan Jambi. Pasokan dari Jambi terhambat karena kabut asap sehingga kapal tidak bisa berlayar. Sementara pasokan dari Batam dilarang.

Adapun warga di Tanjung Pinang, Bintan, Batam, dan Karimun mengeluhkan harga beras yang terus naik seiring penipisan cadangan beras impor di gudang-gudang distributor.

Dalam berbagai kesempatan, pejabat di Batam dan Kepri selalu meminta kuota impor. Namun, pemerintah pusat tidak kunjung memberikan. "Pengadaan dari dalam negeri sulit, harganya lebih mahal," ujar Rudi.

Di gudang distributor Batam, harga beras impor kualitas premium rata-rata Rp 6.000 per kilogram. Adapun harga beras dalam negeri dengan kualitas sama paling murah Rp 9.000 per kilogram.

"Kami cek di gudang, mereka mengaku tidak ada pasokan beras dalam negeri. Harganya mahal. Walaupun tidak mengaku, secara kasatmata kelihatan kalau di gudang bukan beras dalam negeri," ujar Rudi.

Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Kepri, Haripinto Tanuwidjaja, pemerintah pusat tidak mengerti kebutuhan Kepri. Provinsi perbatasan itu tidak bisa menghasilkan pangan sendiri. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh melarang impor pangan ke Kepri. (RAZ)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150921kompas/#/21/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar