Jumat, 25 September 2015

Kado Tragis Hari Tani Nasional: Impor Beras Petani Asing

Tanggal 24 September 2015 adalah Hari Tani Nasional yang ke 55. Namun sampai saat ini, setelah kandasnya Revitalisasi Pertanian yang digagas mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dunia pertanian Indonesia semakin terpuruk. Pasalnya hampir semua faktor produksi dan tata niaga produk pertanian semakin dikuasai oleh berbagai kartel dan adanya masalah pertanian lainnya.

Pada saat Bung Karno mencanangkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960), masalah lahan pertanian bagi petani merupakan isu yang sangat strategis. Tetapi setelah lebih dari setengah abad, lahan pertanian juga masih menjadi isu strategis. Namun isu terakhir mencuat bukan karena masalah pemilikan lahan, tetapi masalah alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian.

Kebijakan Makro Pertanian

Pertanian sepuluh tahun terakhir memang cenderung dianak-tirikan sejalan dengan semakin gencarnya serbuan produk-produk petani asing di Negara-negara Utara. Hal itu memancing lahirnya elit komprador yang memberi ruang seluas-luasnya untuk berspekulasi dengan produk pertanian impor, mulai dari garam, beras, buah, ikan, sampai sayur impor. Para komprador bukan hanya menikmati profit margin yang sangat besar, mereka juga membangun mitos bahwa pertanian adalah masa lalu sambil menyorongkan konsep agar Indonesia menjadi negara industri.

Tetapi dalam perjalanannya, mimpi menjadi negara industri atau negara produsen pun ternyata juga kandas di tengah jalan. Indonesia ternyata sekedar didorong untuk menjadi pengekspor bahan mentah yang minim nilai tambah. Sementara itu Indonesia secara sengaja dan tidak disengaja telah menjadi negara konsumen. Akibatnya sumber daya alam ludes terkuras dan terjual, di lain pihak pemerintah mempersilahkan toko eceran asing menjual produk-produk asing dengan leluasa.

Membangun Prasarana Pertanian Bukan Solusi

Naiknya rejim Jokowi – JK memberi tanda-tanda adanya pembalikan orientasi makro ekonomi Indonesia. Trisakti tiba-tiba dijadikan haluan politik, sosial, dan ekonomi. Kedaulatan pangan atau pertanian kembali dicanangkan sekenanya dengan mendorong pembangunan banyak bendungan guna mengairi lahan-lahan yang selama ini belum tergarap.

Solusi atas kendala teknis faktor-faktor produksi pertanian seperti penyediaan lahan, pembangunan bendungan, dan irigasi pertanian di atas bisa jadi bukan pilihan yang tepat. Bahkan pemerintah telah melakukan pencetakan sawah dan irigasi melalui proyek dengan nilai triliunan rupiah. Ironisnya dana Operasi dan Pemeliharaan prasarana pengairan tidak dialokasikan secara memadai, kalau tidak bisa dikatakan nihil sama sekali.

Alhasil prasarana pertanian dibangun terus, anehnya produksi pertanian malah tidak berhasil mengejar target. Hal ini disebabkan karena para petani telah dinina-bobokan oleh para pengijon dan para tengkulak yang notabene adalah para mafia pangan. Tujuan para tengkulak adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya walau dampaknya tidak mereka rasakan langsung.

Dibutuhkan Superbodi yang Kuat

Karena itu tantangan terbesar, dalam sistem ekonomi yang liberal, sebenarnya bukan menyelesaikan kendala pertanian berupa prasarana teknis, tetapi adalah mengendalikan peran para pedagang dan spekulan yang dapat dengan bebas memainkan stok dan harga pangan sehingga merugikan petani dan sekaligus konsumen. Untuk menghadapi tantangan ini hanya dibutuhkan peran negara yang kuat untuk “bersaing” dengan mereka melalui berbagai instrumen seperti penetapan harga pangan, pengendalian stok, dan kekuatan distribusi.

Keberadaan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai super body sangat strategis dalam hal ini, tetapi syaratnya harus steril dari intervensi kepentingan kartel pangan. Kedua, Bulog dibebaskan dari kapitalisme birokrat yang memanfaatkan kebijakan pemerintah dengan menunggangi upaya melakukan stabilisasi harga dan stok pangan. Jika Bulog tidak kredibel, maka mustahil kedaulatan pangan dapat terwujud.

Bulog Tampaknya Sudah Masuk Angin

Namun jika menganalisis diterbitkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, Bulog tampaknya sudah “masuk angin” dan sengaja mendisain satu mission imposible. Tujuannya jelas untuk menguras stock dan sebaliknya menahan pembelian gabah/beras dari petani dengan target akan dilakukan kembali impor beras dari petani asing. Salah satu indikasinya adalah lagi-lagi ditetapkannya harga tunggal untuk HPP (Harga Pembelian Pemerintah) dan bukan harga dasar dengan stratifikasi harga dan mutu beragam.

Hal ini menyebabkan penyerapan gabah hanya berkisar 13,61 persen dari target, sementara ada kesengajaan mengistirahatkan 90% dari 132 UB-PGB (Unit Bisnis Penggilingan Gabah Beras) dan melumpuhkan angkutan logistik yang diselenggarakan oleh PT Jasa Prima Logistik Bulog. Bulog juga memberikan restriksi persyaratan derajat sosoh dan butir menir yang sulit dipenuhi pengadaannya oleh pabrik-pabrik beras tradisional dan berskala kecil. Selain itu Bulog tidak membeli beras langsung ke petani, tetapi justru melalui mitra kerja-nya.

Keadaan inilah yang menggiring stok beras tinggal 50 – 60 ribu ton pada akhir tahun nanti. Padahal tahun sebelumnya, pada akhir tahun, Bulog bisa memiliki stok 1,4 juta ton. Aba-aba impor sudah diteriakkan pada pertemuan antara Kabulog, Wakil Presiden, dan Meneg BUMN beberapa hari lalu. Ini artinya peringatan Hari Tani Nasional 24 September 2015 lebih tepat jika dijadikan perayaan Hari Tani Asing.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar