Selasa, 22 September 2015
Menggambarkan kebijakan pembangunan sektor pertanian Indonesia selama ini ibarat menyimak kisah seorang anak yang berada di dalam rimba belantara. Di sana, anak itu bertemu dengan binatang buas.
Menyadari dirinya tidak berdaya menghadapi binatang itu, si anak memilih lari menjauh. Ayunan kakinya mendadak terhenti saat dia melihat sungai di depannya.
Karena takut tenggelam, si anak memilih jalan lain, tetapi alam berkata lain. Hutan itu rupanya dikelilingi sungai dan tidak ada satu pun jalan menyeberang. Pilihannya hanya dua: membiarkan tubuhnya dimangsa binatang itu atau secepatnya mencari cara menyeberangi sungai dengan berbagai risiko.
Perdagangan bebas tak ubahnya hutan belantara. Agar pasar Indonesia tidak dimangsa negara lain, komoditas dan produk pertanian Indonesia harus memiliki daya saing tinggi. Karena itu, setiap produk yang dihasilkan harus efisien dan berkualitas.
Komoditas pertanian, seperti tanaman pangan (beras, jagung, dan kedelai), hortikultura (buah, sayur, dan tanaman hias), dan peternakan (ayam, telur, sapi) tidak semua untuk dikonsumsi langsung. Komoditas tersebut juga harus mampu memasok bahan baku bagi industri olahan yang produknya harus bisa bersaing dengan produk sama dari negara lain.
Tanpa mampu menghasilkan komoditas dan bahan baku murah dan berkualitas mustahil produk olahan Indonesia akan bisa bersaing di pasar domestik dan atau ekspor. Sebaliknya produk impor akan siap kapan saja memangsa pasar domestik.
Untuk menghasilkan komoditas pertanian dan produk olahan yang berdaya saing, komoditas itu harus dihasilkan dari sistem budidaya pertanian yang efisien. Biaya produksinya harus rendah, tetapi produktivitasnya harus tinggi.
Agar biaya produksi rendah, skala usaha harus besar dan produktivitas tinggi. Faktanya, produktivitas tanaman pertanian Indonesia umumnya lebih baik ketimbang negara lain. Untuk beberapa jenis komoditas memang kita kalah, misalnya kedelai dan sebagian tanaman hortikultura.
Untuk tanaman kelapa sawit, kita unggul. Begitu pula dengan tanaman padi, jagung, penggemukan sapi, ayam, telur, kambing, serta beberapa tanaman buah dan sayur.
Bagaimana dengan skala usaha? Bisa dipastikan skala usaha budidaya pertanian Indonesia, kecuali perkebunan kelapa sawit, semuanya kecil. Tidak mendukung komoditas yang murah.
Menambah skala usaha dalam budidaya pertanian tidak mudah. Seperti yang dialami si anak kecil saat bertemu sungai, kebijakan pembangunan pertanian Indonesia juga memilih jalan lain. Menyusuri sungai sambil berharap ada jembatan.
Selama proses itu berlangsung, impor komoditas pertanian, bahan baku industri makanan dan minuman, serta produk olahan kian banyak. Sebentar lagi akan memangsa negara Indonesia, membuat ekonomi terpuruk, dan akhirnya bangkrut.
Berbagai upaya meningkatkan daya saing melalui peningkatan skala usaha pertanian hanya berhenti pada tahap gagasan. Reforma agraria yang menjadi jembatan tercapainya peningkatan skala usaha pertanian tak kunjung dilaksanakan.
Pemanfaatan lahan telantar untuk kepentingan petani juga hanya retorika. Jika kemudian si anak kecil itu memutuskan mengambil jalan memutar, pemerintah dalam kebijakannya justru kian menjauhi sungai. Masuk ke hutan belantara lagi.
Ketika petani teriak pendapatannya turun dan hidupnya makin berat akibat skala usaha yang terus menyempit, pemerintah menawarkan obat dalam bentuk kebijakan harga. Gejolak harga berulang kali terjadi, stabilitas sosial-politik juga semakin gawat, kebijakan pembangunan pertanian Indonesia belum juga berubah. (HERMAS E PRABOWO)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150922kompas/#/17/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar