Selasa, 29 September 2015
Di tengah musim kemarau panjang akibat fenomena iklim El Nino, muncul perbedaan pendapat mengenai rencana pemerintah mengimpor beras.
Perbedaan tersebut muncul dari pernyataan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Saat panen padi varietas unggul IPB-3S di Karawang, Jawa Barat, Minggu (27/9), Presiden mengatakan belum akan gegabah mengimpor beras. Saat ini sedang dihitung dampak El Nino terhadap produksi beras. Jumat lalu, dalam rapat terbatas tertutup di Istana yang dipimpin Presiden, disimpulkan stok pangan aman.
Sebelumnya, Rabu pekan lalu, Wakil Presiden menyatakan, pemerintah akan mengimpor 1,5 juta ton beras. Stok beras yang dipegang Bulog 1,7 juta ton akan habis akhir tahun ini. Stok harus bertambah untuk menjamin pasokan beras bagi masyarakat miskin dan menjaga stabilitas harga karena kekeringan bisa berlangsung hingga Desember.
Perbedaan pandangan terbuka antara Presiden dan Wakil Presiden—dengan argumentasi masing-masing—menimbulkan pertanyaan di masyarakat mengenai koordinasi pada aras tertinggi pemerintahan.
Pernyataan Presiden dalam pertemuan dengan pedagang beras dan pengusaha penggilingan padi, Senin, menunjukkan keberpihakan pada petani dan konsumen tanpa meminggirkan pengusaha. Petani harus memperoleh pendapatan yang baik karena telah menanam padi untuk kepentingan nasional. Impor akan menyebabkan harga jatuh. Pedagang diminta tidak mengambil untung sepihak yang akan merugikan konsumen dan petani.
Persoalan beras tidak sepele. Beras makanan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, beras masih menjadi sumber pengeluaran penting. Kenaikan harga beras akan menurunkan daya beli keluarga.
Dalam sejarah Indonesia, beras juga komoditas politik. Peristiwa politik besar di Tanah Air, setidaknya pada 1966 dan 1998, diawali dengan masalah pangan, terutama beras. Kebetulan pada saat itu juga terjadi El Nino.
Data produksi dan konsumsi beras menjadi masalah bertahun-tahun. Ke depan, akurasi data produksi beras dan pangan keseluruhan hendaknya menjadi perhatian karena padanya diletakkan dasar perencanaan produksi pangan.
Menteri Pertanian telah menjanjikan produksi beras akan cukup. Janji tersebut harus dibuktikan di lapangan dengan memastikan semua sarana produksi tersedia tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat kualitas. Varietas IPB-3S yang memberi hasil hingga 9,4 ton gabah kering giling, misalnya, selayaknya mendapat dukungan dikembangkan.
Yang tidak kalah penting, penduduk miskin, hampir miskin, dan kelas menengah dapat mengakses beras tersebut dengan harga yang terjangkau. Kalaupun kemudian diputuskan mengimpor beras, hendaknya tidak ada pihak yang mengambil keuntungan dan impor dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.
http://print.kompas.com/baca/2015/09/29/Pro-dan-Kontra-Impor-Beras?utm_source=bacajuga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar