Ada Dugaan Dipermainkan untuk Justifikasi Keberhasilan Program
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik meragukan kualitas data luas panen pangan sebagai basis penghitungan produksi pangan yang dikumpulkan Kementerian Pertanian dan dinas pertanian di daerah. Konflik kepentingan muncul karena data yang dikumpulkan menjadi justifikasi keberhasilan program oleh institusi pengumpul data.
Kendati sempat dilanda Elnino, Provinsi Lampung masih dapat memanen padi dari lahan sawah gadu seluas 33.000 Hektar. Penanaman selama Agustus-September tersebut berhasil melewati musim kemarau melalui sistem pompanisasi dan jaringan irigasi tersier yang baik.
Hal itu terungkap dalam lokakarya wartawan dalam rangka peningkatan pemahaman data pangan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (25/11), di Jakarta. Lokakarya itu bertema ”Data Pangan sebagai Pijakan Pengambilan Kebijakan”.
Keraguan itu sudah diungkapkan sejak lama oleh beberapa kalangan. Dua bulan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mempertanyakan hasil angka ramalan I produksi beras yang mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling. Angka ini dinilai terlalu tinggi. Dalam catatan Kompas, setidaknya sejak lima tahun lalu, DPR, pengusaha, dan pengamat meragukan data produksi pangan nasional.
Kepala BPS Suryamin mengungkapkan, untuk mendapatkan kualitas data produksi padi yang lebih akurat, BPS pada 2015 tengah melakukan surveipenghitungan luas panen, stok beras, dan citra satelit atau menggunakan foto udara.
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS S Happy Hardjo mengatakan, mekanisme penghitungan produksi padi yang berlaku sejak 1973 adalah hasil perkalian luas panen padi dengan produktivitas tanaman padi per hektar.
Data produksi diperoleh dari hasil kerja sama BPS dengan Kementerian Pertanian dengan BPS sebagai koordinator. Pengumpulan data luas panen menjadi tanggung jawab Kementan dan dinas pertanian.
Adapun data produktivitas dikumpulkan dan menjadi tanggung jawab BPS bekerja sama dengan Kementan dan dinas pertanian. ”Sebanyak 75 persen data dikumpulkan Kementan atau dinas pertanian. BPS hanya berkontribusi 25 persen,” ucapnya.
Metodologi yang dilakukan adalah dengan pengumpulan data di tingkat kecamatan. Saat ini ada 6.700 kecamatan. Petugas pengumpul data adalah koordinator cabang dinas (KCD), petugas penyuluh lapangan, dan petugas dinas pertanian lain.
Data dinaikkan
Happy mengatakan, kelemahan metode pengumpulan data ini adalah penghitungan luas panen tidak menggunakan metode statistik.
Data yang dikumpulkan digunakan sebagai alat evaluasi keberhasilan program peningkatan produksi yang dilaksanakan oleh institusi pengumpul data. ”Potensi konflik kepentingan sangat besar,” katanya.
Menanggapi tudingan itu, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Hasil Sembiring menyatakan, Kementan menyambut baik dan senang dengan upaya BPS melakukan perbaikan kualitas data produksi padi nasional.
”Dengan data produksi yang lebih baik, program pembangunan pertanian akan berjalan lebih baik,” ujarnya.
Menurut Sembiring, upaya Kementan untuk melakukan perbaikan data sudah dilakukan. Hal itu misalnya dengan menambah honor KCD agar mereka lebih sering turun ke lapangan dan menghitung data luas tanam dan panen secara lebih baik. Bersama BPS, Kementan juga memberikan dukungan anggaran pelatihan.
Ia menambahkan, tidak ada data yang ditutup-tutupi dan disembunyikan. Kementan pun berkali-kali berinisiatif mengecek teknik penghitungan tanam dan panen langsung ke KCD, tidak melalui pemerintah daerah.
BPS sebenarnya tahu
Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan, data yang tidak akurat juga menyebabkan beban bagi anggaran.
Dalam menghasilkan data produksi padi, aparatur negara atau birokrasi cenderung memaksimalkan anggaran. Artinya, program akan dijalankan kalau anggaran dimaksimalkan. Yang terjadi kemudian, dalam menghitung luas panen, mereka berlomba-lomba menaikkannya. Kondisi ini terjadi hampir merata dan akumulatif sehingga dampaknya besar. Terkait dengan luas lahan, besaran subsidi pupuk dan benih juga akan membengkak.
”Kalau menyebut bahwa ini disengaja, harus ada pembuktian. Namun, perilaku memaksimalkan anggaran mau tidak mau menjadikan luas area panen tidak sesuai yang ada di lapangan dan cenderung lebih besar,” tuturnya.
Bustanul mengkritik, BPS sebenarnya sudah tahu kondisi tersebut, tetapi selama ini tidak mempersoalkan hal itu. Bahkan, BPS menerima data tersebut, lalu mengolahnya dan menghasilkan angka produksi.
Sementara itu, hasil pertemuan Forum Masyarakat Statistik juga mengindikasikan bahwa bias indeks pertanaman atau jumlah pertanaman dalam setahun untuk padi cukup besar.
Perbaikan
Di tengah keraguan terhadap data produksi pangan nasional, BPS terus melakukan upaya perbaikan kualitas data.
Menurut Happy, tahun ini, dalam upaya perbaikan kualitas data, BPS melakukan uji coba kerangka sampel area.
Happy mengatakan, survei BPS dalam bentuk pencacahan dan pengukuran caturwulan luas panen padi dilakukan dalam tiga tahap, yaitu Mei dan September 2015 serta Januari 2016.
Survei akan dilakukan di tujuh provinsi sentra produksi padi nasional, meliputi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Banten, dan Sulawesi Selatan.
Survei, antara lain, mengambil 30.000 sampel blok sensus dan 300.000 sampel rumah tangga petani padi.
Menanggapi langkah BPS itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengapresiasi langkah BPS yang mau melakukan survei atau uji petik luas panen padi untuk mengonfirmasi data luas panen dari Kementan dan dinas pertanian.
”Selama ini, kontribusi BPS dalam pengumpulan data produksi padi hanya 25 persen, tetapi tanggung jawabnya 100 persen,” katanya. Ia menambahkan, sudah saatnya BPS melakukan penghitungan luas panen sendiri atau setidaknya melakukan survei meski berat. (MAS)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151126kompas/#1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar