Senin, 09 Februari 2015

Swasembada Pangan dan Impor Gandum

Senin, 9 Februari 2015

Dalam masa 100 hari pemerintahan Presiden Joko Widodo dikemukakan janji untuk swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang. Upaya itu diwujudkan antara lain dengan perbaikan sarana irigasi dan mekanisasi.
Sejak pemerintahan Soekarno sampai kini, swasembada pangan selalu identik ketercukupan beras. Bersamaan dengan penyerahan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara di Balai Besar Tanaman Padi, Subang, Jawa Barat, 26 Desember 2014, Presiden Jokowi selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan menyebutkan, ”Sawah masih luas, kok, beras dan bahan pangan lain masih impor?” Meski tak disebut Presiden, gandum merupakan ”bahan pangan lain” yang sangat mencolok volume dan nilai impornya.

Lonjakan impor terjadi selama 15 tahun  terakhir. Tahun 2000, Indonesia hanya impor 3,5 juta ton gandum senilai Rp 5,5 triliun. Tahun 2005 naik menjadi 4,4 juta ton senilai Rp 8,7 triliun. Tahun 2010 naik lagi menjadi 4,8 juta ton senilai Rp 15,6 triliun. Pada Januari-Oktober 2014, BPS mencatat, impor gandum dalam berbagai jenis dan bentuk mencapai 6,5 juta ton senilai Rp 23,5 triliun. Pada kurun waktu sama, impor beras kita hanya 496.200 ton senilai Rp 2,5 triliun. Itu pun 257.800 ton merupakan beras remuk untuk pakan ternak. Selama 15 tahun, volume impor gandum kita naik 185,7 persen dan kenaikan nilai 427,2 persen.

Reekspor
Selama Januari-Oktober 2014, Indonesia memang tercatat mengekspor kembali tepung gandum 125.900 ton senilai Rp 374,9 miliar. Indonesia juga mengekspor mi instan senilai Rp 2,4 triliun. Gandum impor ini sebagian besar diolah lebih lanjut menjadi mi instan. Produk mi instan kebanyakan dikonsumsi masyarakat lapis bawah. Di sinilah terjadi ironi. Ketika rakyat miskin kita membeli mi instan, sebagian dari uang itu dikirimkan ke para petani kaya di AS.

Tak adakah upaya mencoba menanam gandum di negeri ini? Pada awal 2000-an, Bogasari dengan IPB dan Kementerian Pertanian telah mengumpulkan benih gandum tropis dari Pakistan, India, Tiongkok, dan Meksiko. Hasilnya kemudian disebar ke 18 provinsi di Indonesia. Dari upaya ini, hasil yang pernah terungkap ke media massa hanya dari Kopeng, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Di Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, uji coba budidaya gandum ini pernah dikabarkan berhasil, tetapi tak terlalu jelas lokasi dan perkembangan lebih lanjut. Tahun 2009, uji coba budidaya gandum di Kopeng dilanjutkan oleh Bogasari dan Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, dengan bantuan hibah dari Pemerintah Jepang.

Gandum memang bisa dibudidayakan di kawasan tropis asalkan dipilih lahan berketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut dengan kelembapan rendah dan sinar matahari penuh. Gandum perlu paling sedikit cuaca kering (tanpa hujan) selama dua bulan sebelum panen. Dengan tuntutan iklim seperti ini, kawasan dataran tinggi di NTT paling berpeluang untuk uji coba budidaya gandum. Namun, sebagus apa pun hasil gandum tropis, kandungan glutennya pasti terlalu rendah dibandingkan dengan gandum yang tumbuh di negeri empat musim. Maka, upaya uji coba budidaya gandum, selain di NTT, sebenarnya hanya merupakan lips service.

Indonesia semestinya mengupayakan budidaya produk pangan penghasil karbohidrat, selain padi, gandum, dan jagung, misalnya singkong. Tahun 2000 Indonesia masih berada di peringkat keempat penghasil singkong dunia di bawah Kongo, Thailand, dan Nigeria. Tahun 2001 naik ke peringkat ketiga menyalip Kongo. Tahun 2002 naik lagi ke peringkat kedua setelah Nigeria, sampai kini. Menilik peluang pasar, ketersediaan lahan, dan kesesuaian agroklimat, Indonesia dimungkinkan jadi penghasil singkong utama dunia dalam waktu dekat.

Solusi substitusi
Produk pangan mi sudah dikenal di Tiongkok sekitar tahun 4000 SM. Awalnya mi terbuat dari tepung millet (jewawut). Baru pada milenium 1 SM mi dibuat dari tepung gandum. Karena tidak semua kawasan di Tiongkok bisa ditanami gandum, masyarakat negeri ini melakukan inovasi mi terbuat dari tepung beras, yang kemudian kita kenal sebagai bihun. Selain membuat produk baru, penambahan (substitusi) tepung gandum dengan berbagai bahan juga dimungkinkan. Ketika PNS dan TNI masih memperoleh jatah beras, beras jatah yang tak terambil digiling sebagai campuran gandum untuk diolah menjadi roti dan mi.

Setelah PNS dan TNI tak memperoleh jatah beras, gandum bahan mi disubstitusi dengan tepung singkong. Dalam perdagangan internasional, dikenal tiga kategori tepung singkong, yakni tepung gaplek (cassava powder), pati singkong (tapioka atau manioc), dan tepung singkong segar (cassava flour). Lalu, muncul pula istilah mocaf (modified cassava flour). Berdasarkan pengalaman, cassava flour yang paling cocok sebagai substitusi gandum, baik roti maupun mi.

Mi tradisional yang dibuat dengan cara ditarik, roti perancis, dan kulit martabak telur tetap memerlukan tepung gandum dengan kadar gluten tinggi dan tak boleh dicampur karbohidrat dari bahan lain. Namun, di luar itu, gandum bisa disubstitusi, bahkan digantikan oleh bahan lain. Beberapa sumber karbohidrat selain singkong adalah garut, ganyong, keladi, talas, gadung, uwi-uwian, aren, dan sagu. Komoditas-komoditas itu tak terurus dengan baik, nyaris terlupakan. Bahkan, di Kabupaten dan Kota Bogor, talas bogor tak dikembangkan sebaik di Hawaii.

Pada saat pembentukan Kabinet Kerja, Presiden Jokowi menekankan perlunya penghilangan ego sektoral di kementerian. Izin impor produk pertanian, misalnya gandum, kapas, kedelai, gula tebu, daging sapi, dan sapi hidup memang dikeluarkan Kementerian Perdagangan. Untuk memperoleh izin dari Kemendag, importir wajib memperoleh rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Mestinya, dua kementerian ini bekerja sama mengurangi impor bahan pangan. Mengapa Presiden hanya menyebut ”bahan pangan lain”? Mengapa gandum tak tersebutkan?

F RahardiPemerhati Pertanian

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150209kompas/?abilitastazione=#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar