Rabu, 25 Februari 2015

Menggugat Harga Beras

Rabu, 25 Februari 2015

Kenaikan harga beras 30 persen dalam sebulan terakhir di sejumlah daerah di Indonesia memperlihatkan terjadi kelangkaan pasokan di pasar.
Harga beras kualitas medium di pasar-pasar Jakarta naik dari Rp 9.000 per kilogram menjadi Rp 12.000, sementara beras kualitas premium dari Rp 11.000 menjadi Rp 15.000. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menuding kenaikan harga beras karena ulah pedagang. Sementara itu, operasi pasar Bulog belum memberi hasil berarti.

Melihat kenaikan harga beras saat ini harus menyeluruh. Awal musim hujan di Jawa sebagai sentra padi nasional datang terlambat sehingga musim tanam dan panen padi juga mundur. Panen diperkirakan mulai tengah Maret.

Dalam hukum ekonomi, kenaikan harga disebabkan kelangkaan pasokan. Belum turunnya harga beras dapat berarti Bulog kurang agresif membanjiri pasar, stok Bulog memang kurang, sekaligus pasokan beras dari petani kurang. Bagi rakyat, terutama yang berpenghasilan tetap dan tidak pasti dari kelompok ekonomi menengah-bawah, beras masih menjadi sumber pengeluaran penting. Kenaikan harga beras akan memengaruhi daya beli rumah tangga yang sebetulnya selama ini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi nasional.

Harga beras yang tinggi ternyata juga tidak menguntungkan petani padi. Sebagian besar mereka tidak lagi memegang padi karena telah dijual saat panen. Saat ini posisi petani adalah konsumen.

Hal itu pula yang mendasari pembentukan Bulog, yaitu menjaga stabilitas harga pangan pokok, terutama beras. Pada saat panen, Bulog membeli gabah agar harga tidak jatuh dan petani mendapat harga wajar. Saat menunggu panen, harga beras juga terkendali karena Bulog melepas cadangannya ke pasar. Dengan demikian, petani dan pekerja di perkotaan dapat membeli beras dengan harga terjangkau.

Peran sebagai penstabil harga harus kembali dijalankan Bulog justru karena pemerintah berniat swasembada beras. Upaya swasembada tidak cukup hanya dengan memperbaiki saluran pengairan, memperbanyak waduk dan bendungan, serta memberikan benih dan alat pertanian.

Sensus Pertanian 2013 yang dilanjutkan tahun 2014 memperlihatkan, biaya usaha tani tanaman padi sawah 73,4 persen dari pendapatan per hektar. Biaya terbesar untuk tenaga kerja dan jasa pertanian, yaitu 48,3 persen, lalu disusul sewa lahan. Mengelola stabilitas harga dan meningkatkan produksi beras harus memakai pendekatan agribisnis terpadu dari hilir hingga hulu. Pemerintah perlu memastikan petani memperoleh semua yang dibutuhkan, mulai dari modal (kredit) untuk biaya tenaga kerja dan sewa lahan, mendapat bimbingan bercocok tanam (penyuluh yang andal), hingga mendapat jaminan harga.

Mengurus beras bukan sekadar meningkatkan produksi dan budidaya, melainkan juga menyangkut stabilitas sosial-ekonomi dan janji kampanye Presiden.

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150225kompas/#/6/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar