Kamis, 26 Februari 2015
SEKALI lagi logika seperti dijungkirbalikkan di negeri ini. Itu terjadi dengan melambungnya harga beras di hampir seluruh wilayah, padahal stok beras dikatakan cukup. Harga beras yang tidak turun sejak Agustus tahun lalu makin mencekik Februari ini. Harga beras menengah yang semula Rp9.000 per kilogram naik menjadi Rp12.000 per kilogram. Harga beras premium melambung dari Rp11.000 per kilogram menjadi Rp15.000 per kilogram. Kenaikan harga beras di kisaran 25%-30% itu jelas di luar kewajaran.
Siklus rutin kenaikan harga yang terjadi setiap Desember sampai panen raya pada Februari atau Maret biasanya hanya 10%-15%. Tanda tanya besar lalu muncul karena pemerintah mengatakan stok beras Bulog mencapai 1,4 juta ton, atau masih cukup hingga masa panen. Stok beras berlimpah juga telah terjadi sejak 2012, yang juga sebagai akibat surplus produksi. Karena itu, langkah pemerintah mengadakan operasi pasar dengan penyaluran beras 300 ribu ton patut diapreasiasi. Meski begitu, logika naiknya harga yang bengkok belum bisa diluruskan.
Musabab yang lebih jelas ada pada temuan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yang menyatakan bahwa kelangkaan beras yang memicu kenaikan harga hanya akal-akalan para pemburu rente. Gol utama mereka ialah agar pemerintah menutup kelangkaan dengan membuka keran impor beras. Modus busuk tersebut makin subur akibat lemahnya kebijakan tata niaga impor. KPPU juga sudah mencium ada kelompok pedagang besar yang menjadi biang kerok 'tsunami' harga beras tersebut. Meskipun jumlah mereka hanya 5-8 orang, tangan mereka menggurita karena tiap-tiap orang memiliki banyak perusahaan.
Kartel tersebut dapat diibaratkan tikus yang membuat gelontoran beras selalu bocor bagaimanapun banyaknya. Bahkan, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel pun heran pasokan beras 75 ton dari Bulog sejak awal tahun seperti menguap tak jelas ke mana. Skenario dari para kartel makin sempurna karena kenaikan harga di tingkat grosir mau tidak mau diikuti pedagang eceran. Efek domino itulah yang sesungguhnya menjadi kekuatan mereka selain penimbunan. Karena itu, langkah pemerintah untuk tidak membuka keran impor beras sangat tepat. Namun, itu belum cukup.
Stabilitas harga beras yang berkesinambungan hanya bisa terjadi jika pemerintah juga melakukan perbaikan dan pengawasan distribusi. Fakta bahwa operasi beras di pasar induk lebih banyak diselewengkan bukan persoalan sepele. Maka, operasi beras secara langsung kepada konsumen merupakan pilihan terbaik. Selain itu, pemerintah sudah sepatutnya memperbaiki tata niaga impor. Seperti diungkapkan KPK, perbaikan itu bukan hanya mengkaji ulang peraturan perundangan, melainkan juga berdasarkan data valid.
Celakanya, soal data itu pula yang selama ini kerap bermasalah. Data produksi padi nasional, misalnya, kerap dilaporkan tidak pernah turun signifikan. Padahal, alih fungsi lahan pertanian sudah sangat gila-gilaan. Kerancuan makin menjadi-jadi terutama terkait dengan angka konsumsi beras 139 kg per tahun yang bukan berbasiskan hasil survei. Menumpas mafia beras bukanlah pekerjaan ringan. Sebagaimana galibnya para mafia, mereka akan melawan dengan berbagai cara. Karena itu, pemerintah tak boleh lengah, apalagi ciut nyali.
http://news.metrotvnews.com/read/2015/02/26/363268/menumpas-mafia-beras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar