Selasa, 16 September 2014
YOGYAKARTA, KOMPAS — Untuk mencegah konversi lahan pertanian secara berkelanjutan, pemerintah perlu mengubah pola insentif yang selama ini diberikan kepada petani. Mereka perlu mendapatkan insentif yang bisa langsung dirasakan manfaatnya, seperti pemberian subsidi harga jual produk pertanian dan beasiswa kepada anak petani.
”Saat ini, pemerintah memberikan insentif kepada petani berupa subsidi melalui pihak lain. Misalnya, subsidi benih dan pupuk yang diberikan melalui pabrik benih dan pabrik pupuk sehingga nilai subsidi yang sampai ke petani tidak sebesar yang tertulis di atas kertas,” kata Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jamhari, Senin (15/9).
Menurut dia, ada dua bentuk subsidi yang bisa diberikan pemerintah agar petani tidak menjual lahannya. Pertama, subsidi harga jual untuk menjaga harga produk pertanian tidak anjlok. Subsidi itu akan menjamin petani mendapat keuntungan yang memadai dari menjual hasil pertanian. ”Ini bisa dilakukan jika pemerintah memberikan mandat kepada Perum Bulog untuk membeli produk pertanian dari petani,” katanya.
Langkah kedua, memberikan beasiswa pendidikan kepada anak petani. Tahap awal, pemberian beasiswa itu bisa mengacu pada data petani yang terlibat dalam program lahan pangan berkelanjutan di setiap provinsi. ”Kalau anak mereka diberi beasiswa, petani tak mau mengonversi lahannya karena mereka pasti berpikir untuk masa depan anak-anaknya,” ujar Jamhari.
Seperti diberitakan, alih fungsi lahan makin sulit dibendung. Setiap tahun tidak kurang dari 110.000 hektar sawah beralih fungsi jadi perumahan dan kawasan industri (Kompas, 15/9).
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sedang mempertimbangkan pemberian insentif bagi petani. Salah satu opsi, membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada lahan pertanian irigasi. Alasannya, selama ini lahan irigasi teknis masih dikenai PBB. ”Kalau PBB bisa dihapuskan, setidaknya jadi alternatif bagi petani pemilik tetap mempertahankan sawahnya,” kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Petani di Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Sobari, menyatakan, lahan sawahnya seluas 3.000 meter persegi yang berada di tepi jalan desa dikenai pajak Rp 83.000 per tahun. ”Untuk lahan sawah dengan luas yang sama, tetapi lokasinya jauh dari jalan desa, pajaknya setahun Rp 18.000,” kata Sobari seraya menyatakan, banyak lahan beralih fungsi karena petani terdesak kebutuhan, antara lain biaya sekolah anak.
Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah Agus Eko Cahyono mendukung penghapusan pajak bagi lahan sawah yang produktif. Meski nilai pajak relatif murah, PBB merepotkan petani. ”PBB untuk lahan sawah irigasi atau sawah non-irigasi tidak sama,” ujarnya.
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan Ilfantria mengatakan, faktor utama alih fungsi lahan sawah karena petani belum sejahtera. ”Ini ditemui di sawah yang baru satu kali panen, seperti di kawasan rawa dan pasang surut,” katanya, di Palembang.
Dari 800.615 hektar lahan padi di Sumatera Selatan, 443.199 hektar baru ditanami sekali dalam setahun. Ia meyakini, jika sudah sejahtera, petani tak akan tergiur alih fungsi lahan. Selama ini, permasalahan utama petani Sumatera Selatan adalah minimnya modal dan infrastruktur pertanian. (HRS/WHO/IRE)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140916kompas/#/1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar