Senin, 22 September 2014
Ketahanan Pangan | Bulog Jangan Sekadar Berorientasi pada Keuntungan
JAKARTA – Kedaulatan serta ketahanan pangan tidak akan terwujud apabila praktik kartel atau mafia di sektor pangan terus dibiarkan. Karena itu, pemberantasan mafia pangan harus menjadi prioritas dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Demikian ditegaskan Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Benni Pasaribu, dalam diskusi bertajuk “Membaca Arah Politik Pangan di Era Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla” di Jakarta, kemarin.
Menurut Benni, salah satu masalah yang terus membuat sektor pangan tak pernah berdaulat di negeri ini adalah kuatnya cengkeraman para mafia, salah satunya mafia pupuk. “Masih ada mafia pupuk. Sebentar lagi, bulan Januari musim panen. Bulog mestinya difungsikan. Nah, saat Jokowi dilantik, itu sudah masuk musim tanam. Kita harus antisipasi kelangkaan pupuk yang selalu jadi mainan mafia pupuk,” kata Benni.
Tidak hanya mengantisipasi potensi kelangkaan pupuk di musim tanam, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla juga harus mengantisipasi kemungkinan kelangkaan benih. Selama ini, pupuk dan benih selalu menjadi “permainan” oknum-oknum di sektor pangan. Dan itu bukan rahasia lagi.
“Lihat saja kita masih menemukan pupuk bersubsidi di Kuching, Malaysia. Ini kan permainan, persis kayak mafia BBM. Nah, di bulan Oktober, saat Jokowi sudah mulai bekerja, masalah mafia seharusnya sudah bisa diberantas. Oktober mafia pupuk harus diselesaikan,” katanya.
Padahal, kata dia, Indonesia sangat mungkin untuk secepatnya bisa berdaulat di sektor pangan. Tetapi memang sektor ini seperti salah urus dan kelola. Ia pun mencontohkan BUMN Sang Hyang Sri yang bergerak dalam pembudidayaan benih. Perusahaan pelat merah yang memunyai lahan untuk pembudidayaan benih hingga 3.000 hektare itu kini megap-megap. Padahal, kalau diurus dengan benar, Sang Hyang Sri bisa jadi “juru selamat” bagi petani, terutama untuk memenuhi bibit atau benih unggul tanaman pangan atau komoditas.
“Sang Hyang Sri punya 3.000 hektare lahannya. Kini apa coba? Itu karena orientasinya proyek sehingga kreativitas tak ada lagi. Badan Urusan Logistik atau Bulog dulu bisa jadi pengaman harga pangan, kenapa sekarang tidak? Kita ada semua, tinggal kembalikan fungsi Bulog. Bulog juga tak perlu melulu cari untung, tapi jadi agen development, menjadi stabilisitator harga dan penjaga stok nasional,” kata dia.
Apalagi Bulog, kata Benni, sudah punya gudang-gudang di pelabuhan atau di kota-kota di daerah. Tinggal fungsikan itu kembali sehingga, ketika masa paceklik tiba, masalah pangan tak terus jadi problem.
“Sekarang kan gudang-gudang Bulog atau KUD menganggur, jadi lapangan futsal malah karena sekarang barang dari pelabuhan langsung masuk pasar,” kata Benni.
Yang paling menjengkelkan, menurut Benni, para mafia pemburu rente di sektor pangan itu masuk di kala musim panen petani. Contohnya membanjirnya bawang impor dari luar yang masuk ke Brebes. “Contoh bawang impor masuk lewat Brebes. Bawang impor yang masuk jelek-jelek, sementara bawang Brebes itu kualitas nomor satu. Tapi di-packing jadi bawang Brebes dikirim ke Papua. Lha orang Papua bilang kok sekarang jelek ya bawang Brebes,” katanya.
Praktik-praktik curang seperti itulah, kata Benni, yang mesti diberantas di era Jokowi. Ia yakin Jokowi berani. Karena itu, menteri pertaniannya pun mesti berani memberantas mafia, bukan malah melanggengkannya. “Berantas mafia. Bagi saya, nomor satu kembali ke rule yang ada. Kalau ada regulasi yang condong pada penguasaan pasar oleh sekelompok orang, atau monopolistik, itu kita evaluasi, kita perbaiki. Karena di situ mafia atau kartel bermain,” katanya.
Oleh sebab itu, di awal pemerintahannya, pemberantasan mafia impor pangan atau praktik kartel dalam tata niaga, mesti jadi prioritas, bahkan mesti jadi prioritas dalam program 100 hari Jokowi-Jusuf Kalla.
Menurut Benni, harus dikembangkan usaha di luar masa tanam agar petani tak menganggur ketika masa tanam usai. Ia pun mengusulkan agar pemerintah ke depan membangun industri dasar pengelolaan hasil pertanian. “Di industri dasar ini, produk pertanian paling tidak bisa diolah dalam satu atau dua proses. Nah, industri hilirnya di pelabuhan,” kata dia.
Menurut Benni, banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi Jokowi di sektor pangan, terutama komitmen Jokowi untuk melindungi petani dari serbuan produk pangan impor. Oleh sebab itu, produktivitas petani domestik mesti digenjot dan didukung, baik oleh politik anggaran, regulasi, maupun riset serta teknologi tepat guna.
Benni bersyukur kedaulatan pangan menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Setidaknya, ada lima strategi dasar yang harus dilakukan. Lima strategi itu, antara lain, pengembangan usaha tani berbasis agribisnis dan agri-industri, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, revitalisasi dan penguatan kelembagaan petani, pengembangan teknologi tepat guna berbasis kearifan lokal melalui revitalisasi dan penguatan lembaga riset, serta pembangunan infrastruktur pertanian dan perdesaan. “Strategi dasar itu harus mencapai sasaran kebijakan di level petani, lahan, infrastruktur, teknologi, industri, benih, dan kelembagaan,” kata Benni.
Benni juga menyarankan pemerintahan Jokowi segera menyiapkan infrastruktur pendukung pertanian, misalnya membangun 25 waduk baru dan saluran irigasi baru untuk 3 juta hektare serta mencetak sawah baru seluas 1 juta hektare. Reformasi agraria juga mutlak dilakukan. Hal ini penting untuk memperbesar akses petani terhadap lahan pangan baru, yakni seluas 9 juta hektare.
“Saya yakin, kalau pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen penuh, bisa mencapai swasembada pangan dalam waktu dua tahun, selambatnya di tahun 2017,” katanya.
Swasembada itu, kata Benni, termasuk beras, jagung, gula, sagu, singkong, kentang, rumput laut, daging, dan ikan yang saat ini masih dilakukan impor. Kementerian Pertanian harus bisa mewujudkan swasembada pangan dan menghilangkan kebergantungan pada impor pangan. “Kita seharusnya mengurut dada, nasib petani selalu termarjinalkan,” katanya.
Fakta yang terjadi, ketimpangan kesenjangan kian menganga. Padahal 60 persen penduduk tinggal di perdesaan dan 70 persen di antaranya berprofesi sebagai petani. Di sisi lain, sektor pertanian hanya menyumbang 13,6 persen PDB.
Masalah Besar
Sementara itu, pengamat politik pangan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Peneliti The Indo Strategy Foundation, Pandu Yuhsina, mengatakan di bidang administrasi dan pemetaan pertanahan, Indonesia memunyai masalah yang besar. Dari total 191,02 juta hektare luas tanah di Indonesia, ternyata masih ada 65 juta hektare yang sama sekali belum tersedia data citra satelitnya. Luas wilayah yang sudah tersedia data citra satelitnya baru seluas 102,51 juta hektare.
“Dari luasan tanah yang sudah bisa dicitrakan lewat satelit itu, baru 25,43 juta hektare saja yang sudah diolah menjadi peta dasar pertanahan,” katanya.
Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla perlu mempercepat tersedianya peta dasar pertanahan yang baku. (ags/N-1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar