Senin, 29 September 2014

Harapan Petani untuk Presiden

Senin, 29 September 2014

Satu hal yang luput dari para pengamat adalah peran petani yang luar biasa dalam memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan wakil presiden ketujuh.
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan Kompas sehari setelah pencoblosan (Kompas 10/7/2014), petani menduduki posisi tertinggi dari kelompok pemilih yang memberikan suara ke Jokowi-JK, yaitu 59,4 persen. Urutan selanjutnya ibu rumah tangga (55,2 persen), pelajar/mahasiswa (54,1 persen), pedagang (51,3 persen), pengangguran (47,6 persen), pegawai swasta (40,4 persen), pensiunan (38,7 persen), dan pegawai negeri sipil (35,2 persen). Dengan jumlah rumah tangga petani 26,15 juta dan dengan asumsi terdapat tiga pemilih per rumah tangga, menghasilkan angka 78,45 juta. Apabila suara petani tersebar merata pada kedua kandidat (50-50), Jokowi-JK memperoleh angka 63.623.550 (47,63 persen) sehingga kalah dari Prabowo-Hatta dengan angka 69.950.744 (52,37 persen).

Meski miskin liputan media, petani bergerak luar biasa dalam memenangkan Jokowi-JK. Salah satunya melalui beragam organisasi relawan, seperti Seknas Tani Jokowi, Jokowi untuk Petani Nusantara, dan Aliansi Tani Indonesia Hebat. Ratusan ribu petani kecil menyumbangkan yang mereka miliki berupa gabah, beras, dan hasil pertanian lain untuk mendukung gerakan memenangkan Jokowi-JK.

Sudah puluhan tahun petani merindukan sosok yang mampu mengangkat penghidupan dan kehidupan mereka dari keterpurukan. Dalam khazanah Jawa itu diwujudkan dalam harapan munculnya Satrio Piningit atau Ratu Adil (istilah yang muncul pada zaman pujangga Keraton Mataram) yang diilhami dari mahakarya Prabu Sri Jayabaya dari Kerajaan Kediri (1135-1157 M). Hal sama dikatakan Soekarno pada pleidoi persidangan Landraad di Bandung 1930 yang menyatakan, ”Apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan.” Pertolongan itu diharapkan datang dari Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu yang mampu membawa Indonesia gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo (mencapai kemakmuran) melalui suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti (keluhuran budi mengalahkan angkara murka) atau meminjam istilah Jokowi melalui revolusi mental.

Ingatan itu terus membekas di kalangan masyarakat petani Jawa pada khususnya atau petani Indonesia pada umumnya. Pesta demokrasi lima tahunan yang selama ini berlangsung tak pernah menyuntikkan api semangat untuk petani sebesar pesta demokrasi tahun ini. Mereka memiliki harapan luar biasa.

Situasi petani kecil
Sebanyak 62,8 persen dari 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia (2013) petani, sedangkan sebagian besar sisanya juga petani yang terpaksa keluar dari lahan garapan mereka. Sensus Pertanian menunjukkan tercerabutnya keluarga tani dari lahan garapan mereka sejumlah 500.000 rumah tangga per tahun selama 10 tahun terakhir. Data penurunan jumlah rumah tangga petani disambut gembira beberapa kalangan yang menunjukkan proses ”involusi pertanian” berlangsung. Petani pindah profesi masuk sektor industri dan jasa, yang menyebabkan jumlah petani menurun yang berdampak positif karena jumlah lahan yang dikuasai per rumah tangga petani meningkat.

Fenomena itu tak terjadi, yang sebenarnya terjadi mereka didera kemiskinan akut sehingga terpaksa harus keluar dari lahan atau tanah garapan mereka. Sebagai contoh di Jawa Tengah, hampir di semua golongan luas penguasaan lahan, jumlah rumah tangga petani menurun 10 tahun terakhir. Hanya di kelompok petani yang memiliki luas lahan 0,1-0,2 hektar yang sedikit meningkat, sebanyak 8.658 rumah tangga tani. Penurunan drastis terjadi pada kelompok dengan luas lahan kurang dari 0,1 hektar, yaitu 1.321.787 keluarga tani. Kelompok kedua yang mengalami penurunan cukup besar adalah pemilik lahan 0,2 hektar-0,5 hektar dan 0,5 hektar-1 hektar. Bahkan petani kaya yang punya lahan lebih dari 1 hektar jumlahnya juga turun (diolah dari ST 2013). Fenomena konversi kepemilikan ini jauh lebih berbahaya bagi kelangsungan penyediaan pangan kita dibandingkan dengan sekadar konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian.

Kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin juga kian lebar. Hanya dalam tempo sangat singkat rasio Gini (alat ukur ketimpangan pendapatan penduduk, semakin tinggi semakin timpang) meningkat tajam dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2013). Pendapatan per kapita petani saat ini jauh di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar rumah tangga pertanian, petani padi, dan palawija, pendapatannya hanya Rp 912.000 per rumah tangga petani per bulan (diolah dari Iswadi, Kompas, 14/7). Padahal, mereka selama ini yang mencukupi kebutuhan pangan pokok kita.

Kajian penulis menghasilkan angka hampir mirip, antara Rp 1.000.000 dan Rp 1.300.000 per bulan per rumah tangga petani padi untuk lahan beririgasi teknis. Jika harus menyewa lahan, pendapatan petani hanya Rp 670.000-Rp 1.000.000 per bulan. Secara agregat (BPS 2014), rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha pertanian juga menghasilkan angka tak jauh berbeda dengan angka di atas, Rp 1,03 juta per bulan. Ironisnya, angka itu lebih rendah dari upah minimum provinsi terendah di Indonesia 2014. Upaya petani bertahan hidup menyebabkan mereka harus mengais rezeki di luar pertanian atau beralih usaha ke pertanian hortikultura yang berisiko sangat tinggi. Usaha budidaya cabe, misalnya, perlu modal Rp 50 juta-Rp 80 juta per hektar per musim, bawang merah Rp 35 juta-Rp 75 juta per hektar per musim. Ketika harga cabe jatuh hingga Rp 2.000 per kilogram seperti dua bulan lalu, itu menimbulkan dampak luar biasa bagi keluarga petani.

Impor pangan 10 tahun terakhir meningkat luar biasa, 173 persen untuk 8 pangan utama, sedangkan nilai devisa yang digunakan meningkat tajam dari 3,34 miliar dollar AS (2003) menjadi 14,90 miliar dollar AS (2013) atau hampir 4,5 kali lipat. Jika data itu disandingkan dengan anggaran pemerintah untuk pangan dan pertanian, akan menghasilkan ironi karena anggaran sektor itu meningkat 611 persen hanya dalam 9 tahun. Sering dikemukakan impor pangan serta integrasi masif sistem pangan Indonesia dengan global adalah penyebab utama yang menggerus kapasitas petani memproduksi pangan. Harga impor yang lebih murah (low artificial price) dan praktik dumping menyebabkan produk lokal dan produk petani kecil tergeser produk impor.

Harapan untuk presiden
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani perlu menjadi tujuan utama pemerintah di bawah presiden terpilih. Pola pikir dan platform ketahanan pangan yang sudah dikerjakan puluhan tahun ini perlu dirombak mendasar sehingga dunia pertanian memiliki wajah yang sama sekali baru. Platform yang hanya menempatkan pangan sekadar komoditas perdagangan, menempatkan petani hanya sebagai obyek kebijakan, dan penekanan terlalu tinggi pada sisi konsumen perlu dirombak secara mendasar. Paradigma kedaulatan pangan yang dijanjikan presiden terpilih dan ingin diwujudkan di Indonesia perlu dirumuskan dengan tepat, benar-benar dipahami oleh semua birokrat, serta menjadi roh yang menjiwai semua perumusan kebijakan dan program pertanian dan pangan.

Sebagai penutup, visi pertanian Indonesia diharapkan: ”Mewujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria untuk melayani dan memenuhi hak seluruh rakyat atas pangan yang menyehatkan serta peningkatan kesejahteraan keluarga tani melalui dukungan penuh negara terhadap redistribusi tanah untuk petani, pengarusutamaan pertanian keluarga dan agroekologi, serta pelindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil” (deklarasi Aliansi Tani Indonesia Hebat, 1 Juni 2014). Penulis yakin harapan petani akan terpenuhi di pemerintahan mendatang. Dengan memuliakan petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka, kita semua selamat dari jurang kehancuran.

Dwi Andreas Santosa Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor; Ketua Umum Bank Benih Tani Indonesia

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140929kompas/#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar