Senin,1 September 2014
Pekerjaan rumah menanti menteri pertanian baru.
Persoalan beras jelas terkait kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, terutama siapa yang memimpin Kementerian Pertanian sebagai kementerian yang berada di garda terdepan yang mengawal kebijakan perberasan.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Tim Penyusun Buku Swasembada Beras dari Masa ke Masa terbitan Institut Pertanian Bogor (IPB), muncul penilaian umum responden terhadap kinerja menteri-menteri pertanian dalam kurun waktu 10 tahun (1997-2007).
Responden yang terdiri atas Kabid Program dan Evaluasi-Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Kepala Pusat Distribusi Pangan-Badan Ketahanan Pangan, Kasubbid Padi Irigasi dan Rawa-Direktorat Budidaya Serealia Deptan, dan Kasubdiv Pengamatan Harga dan Pasar-Bulog, serta para ahli independen yang terkait kebijakan perberasan, memberikan penilaian bahwa Indonesia mengalami peralihan dari revolusi hijau ke sistem baru.
Namun, kebijakan pertaniannya belum menyesuaikan dengan teknologi yang ada. Akibatnya, banyak teknologi yang berkembang, tetapi tidak terfasilitasi.
Menurut responden, baik Menteri Soleh Solahuddin, Bungaran Saragih, maupun Anton Apriyantono sulit bergerak karena pemerintah masih menggunakan sistem lama.
Dengan kata lain, sehebat apa pun pengendaranya, jika kendaraan yang dikendarai sangat buruk dan usang, pengendara yang hebat itu pun akan sulit membawa laju kendaraannya.
Di samping masalah sistem, ketiga menteri pertanian ini juga dibebani kepentingan lain di luar pertanian, seperti kepentingan partai. Jika dicermati, kebijakan beras di Indonesia bisa dikatakan tidak continue sehingga bersifat jangka pendek.
Sebagai contohnya, kebijakan beras kita yang bermaksud menyelamatkan konsumen beras dengan menekan harga beras, ternyata justru merugikan petani. Bila harga gabah atau beras ditekan, harga input pertanian seyogianya disubsidi secara tepat sehingga petani tidak merugi.
Responden juga menilai kebijakan beras mengalami kemunduran, terlihat dari semakin mahalnya harga di konsumen, sedangkan harga di tingkat petani tidak naik signifikan. Jadi, yang lebih banyak menikmati keuntungan adalah pedagang.
Responden juga menyarankan perbaikan kebijakan beras nasional pada subsistem on farm sebaiknya menerapkan pertanian ekologis. Itu karena sistem pertanian ini mampu meminimalkan penggunaan input dalam bentuk pupuk dan bibit sehingga biaya produksi yang dikeluarkan petani menjadi lebih kecil. Selain itu, sistem ini ramah lingkungan sehingga baik untuk kelanjutan jangka panjang.
Responden juga merekomendasikan sistem penanaman SRI dan PHT yang telah terbukti berhasil meningkatkan produksi padi di beberapa tempat. Perlu pendekatan antropologis dalam mendekati petani. Artinya, petani dilihat secara individu, bukan digeneralisasi dengan pendekatan sosiologis yang selama ini diterapkan.
Hal lain yang disarankan untuk dilakukan adalah meningkatkan SDM petani melalui penyuluhan tepat sasaran dan tepat cara. Penyuluh tidak saja memberikan pengetahuan secara satu arah, tetapi lebih pada teman diskusi. Itu karena petani dengan mudah dapat mengakses informasi dari berbagai media.
Kebijakan Menteri Pertanian Soleh Solahuddin, menurut responden, masih dilatarbelakangi revolusi hijau. Pada masa itu banyak terjadi salah duga akan kebutuhan beras. Pemerintah saat itu cenderung memberikan reaksi pada situasi masalah, bukan akar masalah. Pada periode ini, mentan juga terlalu fokus pada peningkatan luas areal produksi yang efektivitasnya dirasa kurang.
Kebijakan benih mengutamakan peningkatan produksi dan produktivitas padi serta mengurangi susut pascapanen melalui gerakan nasional Gema Palagung.
Ada upaya peningkatan penyerapan kredit usaha tani (KUT) melalui sistem pendampingan dengan PROKSIDATANI sehingga mampu menaikkan harga gabah di tingkat petani. Namun, periode kepemimpinannya yang singkat membuat hasilnya belum terlihat.
Kebijakan Menteri Pertanian Bungaran Saragih dianggap mampu memberikan semangat. Kebijakan yang diterapkan menggunakan pendekatan makro dan sentralistis.
Kebijakan diarahkan pada pendekatan sistem agribisnis agar petani (kelompok tani) melakukan kegiatan on farm plus off farm. Ada wacana dilakukannya corporate farming system, tetapi tidak terlihat implementasinya di lapangan karena konsep agribisnisnya dianggap lebih memberdayakan pengusaha besar dan kurang menyentuh petani kecil sehingga petani kecil tidak mengalami kemajuan.
Kebijakan periode ini dinilai tidak ada peningkatan produksi dan produktivitas padi secara signifikan. Demikian juga dengan kesejahteraan petani dianggap tidak meningkat, ditandai dengan tidak meningkatnya nilai tukar petani (NTP) padi. Kebijakan periode ini juga dipandang lebih memprioritaskan impor dan promosi.
Kebijakan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, karena wawancara responden dalam survei dilakukan sampai September 2007, pendapat responden masih terbatas kebijakan pada paruh awal periode tugasnya.
Menurut pendapat responden, kebijakan Mentan Anton Apriyantono terkendala sistem yang tidak siap. Sebagai contoh, ketika pemerintah menargetkan produksi padi sebesar 2 juta ton pada 2007, pemerintah membagikan bibit bersertifikat kepada petani. Kenyataannya, bibit tersebut terlambat sampai ke petani karena sistem pembagian yang tidak jelas.
Kebijakan periode ini diarahkan pada peningkatan pendapatan petani melalui kebijakan menaikkan harga dasar gabah. Terjadi peningkatan produksi meskipun masih relatif pelan.
Alokasi dana bagi petani baik langsung maupun tidak langsung meningkat tajam. Mentan Anton Apriyantono dianggap berhasil dalam pemberdayaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Terdapat program pengurangan susut pascapanen dan wacana penggunaan bibit hibrida.
Di samping itu, dilakukan sertifikasi beras berlabel untuk memberikan nilai tambah bagi petani. Mengenai kebijakan proteksi impor sepertinya implementasinya tidak terlihat jelas.
Kebijakan perbaikan sarana dan prasarana pengairan tidak signifikan dan cenderung bersifat rutin saja. Perluasan areal sangat lambat dan upaya untuk mengatasi konversi lahan sawah sangat minimal. Pada sisi peningkatan SDM, terjadi peningkatan kualitas terutama penyuluh dan tenaga pascapanen meskipun target produksi belum sepenuhnya tercapai.
Lalu, bagaimana kebijakan perberasan Mentan Suswono? Andai survei ini dilanjutkan dengan memotret kebijakan Mentan Suswono, rasanya kondisinya tidak jauh berbeda dengan kebijakan Mentan Anton Apriyantono. Kesamaan home based parpol dari keduanya tak bisa dimungkiri memberikan warna senada dalam gebrakan kebijakan perberasan.
Kini, “pekerjaan rumah” menanti menteri pertanian baru di era kepemimpinan presiden baru 2014-2019 nantinya. Gebrakan kebijakan perberasan sangat dinanti, tentu dengan harapan impian kejayaan swasembada beras dapat terwujud di era ini.
Siti Nuryati
*Penulis adalah alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Sumber : Sinar Harapan
http://sinarharapan.co/news/read/140901041/rss.xml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar