Gaung kedaulatan pangan begitu menggema semasa kampanye pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) beberapa bulan lalu. Baik Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang sebentar lagi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden RI, maupun Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, menempatkan kedaulatan pangan sebagai sesuatu yang penting. Entah itu kemudian hanya sebagai isu politis atau sekadar jargon, setidaknya ada komitmen dan turunan program pertanian (dalam arti luas sebagai pangan meliputi pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan) yang patut diacungi jempol. Sebagai isu politis, mempertanyakan kesejahteraan petani atau impor pangan, pasti disambut antusiasme yang tinggi. Apakah bisa terlaksana? Masih menjadi pertanyaan besar.
Perdebatan konsep dan apa saja langkah prioritas yang harus dilakukan dalam pembangunan pertanian sudah berakhir. Kini saatnya membumikan visi dan misi pembangunan pertanian sebagai program yang realistis dalam segala keterbatasan. Tentu bukan dukungan politik sebagaimana dalam perolehan suara pilpres, namun dukungan berupa kebijakan pemerintah, anggaran, institusi, dan komitmen dari para elite yang terpilih.
Pada titik ini, sikap pesimistis pun mulai muncul usai euforia terbentuknya pemerintahan baru. Contoh paling aktual adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan saja isu pertanian (pangan) yang kemudian menjadi daya dongkrak ketika hendak mencalonkan diri jadi presiden pada 2004, tetapi juga langkah menyelesaikan studi doktoral di Institut Pertanian Bogor (IPB) membuat harapan begitu besar atas kemandirian pertanian. Dramatisasi kelulusannya dan solusi persoalan pertanian di Indonesia seakan menempatkan SBY sebagai sosok yang bisa menjadi solusi kerumitan pertanian Indonesia. Disertasi berjudul Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik, Kebijakan Fiskal telah menghipnotis banyak orang di republik ini.
Banyak konsep dan program yang dicanangkan SBY dengan dukungan beberapa dosen IPB yang mengajarnya beserta para elite yang melingkarinya. Mulai dari program Revitalisasi Pertanian tahun 2004 hingga terakhir Rencana Aksi Buktitinggi pada November 2013 lalu, ternyata tidak memberikan kemajuan berarti. Bahkan, sejumlah target Rencana Aksi Bukittinggi bidang pangan kemudian direvisi lagi pada awal 2014 lalu.
"Sudah direvisi, target padi awalnya 76 juta ton menjadi 73 juta ton, kedelai dari yang awalnya 1,5 juta ton menjadi 1,3 juta ton," kata Menteri Pertanian Suswono akhir Maret lalu.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pembangunan Pertanian 2010-2014, uraian rencana dan pencapaian pembangunan pertanian biasanya terkesan tidak terlalu parah. Demikian juga implementasi melalui rencana strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2010-2014, diulas beberapa hal yang terkesan jauh dari fakta-fakta yang ada. Revisi yang lumrah sebagaimana dilakukan pada berbagai program swasembada pangan.
Surplus 10 juta ton beras yang diandalkannya melalui Kementerian Pertanian tidak lebih dari sekadar jargon. Swasembada daging sapi dengan sistem kuota impor justru hanya memperpanjang rente ekonomi dan lahan korupsi segelintir elite atas nama partai politik tertentu. Belum lagi beberapa program atau komoditas lainnya. Itu belum termasuk salah kaprah sejumlah staf khusus SBY yang menerjemahkan pertanian sebagai sesuatu yang sederhana dan seakan-akan bisa diselesaikan dengan membalik telapak tangan. Hasilnya malah blunder yang tidak menyelesaikan persoalan, tetapi menjadi bahan tertawaan karena lucu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal, dana yang digelontorkan untuk berbagai program swasembada tersebut harus dipertanggungawabkan.
Tidak hanya itu, dalam periode kedua pemerintahannya, sejumlah posisi pendukung pertanian kembali dipegang orang-orang kepercayaannya. Mungkin itu agar berbagai program bisa dieksekusi dengan baik. Sebut saja, Joyo Winoto yang menjadi salah satu think thank pertanian SBY dan getol dengan reformasi agraria jauh sebelum itu, sepertinya tak bisa berbuat apa-apa justru pada saat didaulat menjadi kepala Badan Pertanahan Negara (BPN). Malah, pimpinan Brighten Institute yang berbasis di Bogor ini diduga ikut dalam mafia perizinan tanah, seperti kasus Hambalang yang menyeret sejumlah petinggi Partai Demokrat.
Reformasi agraria yang didengungkan Joko Winoto melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang lebih dikenal dengan program reformasi agraria pun dalam kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sangat propasar, sehingga segera dievaluasi agar efektif mencapai keadilan dan pengurangan kemiskinan. Memang semangat PPAN merupakan strategi mengurangi ketimpangan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dan mengentaskan kemiskinan. Di samping itu, juga berkontribusi menciptakan lapangan kerja dan menciptakan ketahanan pangan terutama di perdesaan.
Kepala Peneliti Kajian Agraria LIPI Lilis Mulyani di Jakarta, pada awal Januari lalu, menyatakan PPAN merupakan program yang baik di tingkat kebijakan, namun terdapat hambatan pada pelaksanaannya, sehingga ketimpangan penguasaan lahan semakin tak terkendali. Pada saat yang sama jumlah dan luasan perkebunan besar justru semakin meningkat, demikian juga pemilikan lahan perorangan baik dalam rangka investasi atau spekulasi.
Menurutnya, menjalankan reformasi agraria dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak mudah. Kebijakan pembangunan ekonomi yang ada telah secara eksplisit memberi porsi dominan pada pasar, perkebunan besar, pembangunan infrastruktur besar-besaran, atau bentuk pembangunan ekonomi yang "rakus lahan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar