Senin, 8 September 2014
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat kembali mengubah kebijakan impor sapi dan daging sapi dari yang selama ini berbasis negara ke zona. Pembahasan perubahan atas Undang-Undang Nomor No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ditargetkan selesai pada masa sidang DPR periode 2009 - 2014.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi-Kerbau Indonesia Teguh Boediyana, Minggu (7/9), di Jakarta, mengatakan, seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai UU No 18/2009 sudah final.
Tahun 2010, MK mengabulkan permohonan mengenai dihapusnya ketentuan impor produk hewan berbasis zona, dan menyatakan impor indukan sapi dan daging sapi harus berbasis negara, tidak bisa berbasis zona. Alasannya untuk menjaga kedaulatan pangan Negara Kesatuan RI serta memberikan perlindungan bagi usaha peternakan sapi di Indonesia.
”UU No 18/2009 disahkan Juni 2009, bulan Oktober 2009 kami melakukan uji materi dan dikabulkan MK. Tapi sejak Agustus 2010 pemerintah dan DPR menjalin kesepakatan untuk mengubah undang-undang tersebut,” kata Teguh.
Bahkan, lanjut Teguh, para pemangku kepentingan sudah siap mengajukan peninjauan kembali ke MK. ”Kalau MK membiarkan perubahan terkait kebijakan impor, sama halnya putusan MK tidak bersifat final. MK mengingkari putusannya sendiri,” katanya.
Oleh karena itu, Teguh mempertanyakan rencana perubahan kebijakan importasi indukan sapi dan daging sapi tersebut. Kebijakan itu diduga sebagai pintu masuk impor daging sapi segar.
”Kalau alasannya sistem zonasi untuk kepentingan mendapat bibit sapi dalam rangka swasembada daging sapi nasional, mengapa pada saat yang sama pemerintah justru membiarkan indukan sapi atau betina sapi produktif dipotong 300.000 setiap tahunnya,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Teguh, pemerintah dengan segala cara melarang apa pun upaya untuk memotong sapi betina produktif. Karena itu bisa menguras populasi sapi di dalam negeri yang saat ini tinggal 12,5 juta ekor atau setara populasi sapi pada 2009.
”Kalau alasannya dalam rangka mencapai swasembada daging sapi, mengapa impor sapi dan daging sapi justru melonjak hingga 45 persen. Saat ini impor daging sapi Indonesia 120.000 ton, sapi bakalan dan sapi siap potong 750.000 ekor setara 130.000 ton,” katanya.
Maksimal 10 persen
Padahal dalam kontrak kerja antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Pertanian Suswono dinyatakan dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi nasional, impor setara daging sapi pada akhir pemerintahan SBY ditargetkan maksimal 10 persen atau setara 50.000 ton.
Terkait dengan rencana perubahan kebijakan impor dari basis negara ke zona, apa pun alasannya, menurut Teguh, kepentingan peternak harus dilindungi. Peternak harus diberi insentif dan jaminan keberlangsungan usaha peternakan mereka.
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Wiwik Bagja mengatakan, pemerintah membolehkan barang atau bahan pangan asal hewan masuk dalam negeri, tanpa penyaringan apa pun dan hanya dengan persyaratan dokumen kertas.
Padahal, risikonya Indonesia kemasukan berbagai penyakit yang dapat menghabiskan sumber daya hewani bangsa Indonesia. ”Penyakit menular saat ini penyebarannya melalui agresifitas perdagangan karena kepentingan manusia. Pengamanannya harus ditingkatkan,” kata Wiwik Bagja. (MAS)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140908kompas/#/18/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar