Sabtu, 04 Oktober 2014

Viva Yoga Mauladi : “Kita Sudah Darurat Pangan”

Jumat, 3 Oktober 2014


Ironis. Itulah kata yang cocok untuk negeri ini. Di tengah melimpahnya sumber daya alam berupa lahan yang luas, Indonesia harus menghadapi kenyataan sebagai negara yang tak pernah lepas dari impor untuk memenuhi kebutuhan bahan pokoknya. Beras, jagung, kedelai, daging, bahkan sampai garam pun harus dipenuhi dengan mengimpor dari negara lain.

 “Saya selalu katakan, kita sudah darurat pangan. Kita ini sudah memasuki tahapan krisis pangan. Beda dengan Singapore yang tidak punya lahan. Kita punya ratusan juta hektare, tetapi tetap melakukan impor,” tegas Viva Yoga Mauladi, yang tetap masuk Komisi IV DPR dari Fraksi PAN saat ditemui Agrofarm di kantor DPP PAN Jakarta.

Menurutnya, permasalahan sudah memasuki tahapan kritis karena arah kebijakan pemerintah dalam merumuskan kebijakan pangan tidak sinkron antar satu lembaga dengan lembaga lainnya. “Tanpa political will yang jelas, bangsa Indonesia tetap akan menjadi bangsa pengimpor,” katanya.

Dicontohkan, program revitalisasi  pertanian dengan membagikan lahan kepada petani tidak pernah jalan. Ada 7,2 juta hektare yang siap dibagikan. Dimana ? Sampai sekarang tidak jelas. Produksi Kementan, distribusi Kemendag, konsumsi dari masyarakat. Saya sangat meragukan data pangan. “Pemerintah cuma bisa berwacana. NATO (no action talk only),” katanya.

Menurutunya, dengan melihat kondisi impor yang terus-menerus,  merupakan salah satu indikasi krisis pangan. “Lahan sangat luas, tetapi kenapa kita tetap impor. Berarti kan banyak lahan produktif yang tidak dimanfaatkan,” katanya.

Bukan itu saja. Rendahnya basis data dalam menghitung berapa kebutuhan pangan dan berapa produksi yang mampu dicapai petani di negeri ini setiap tahunnya. “Kementerian Pertanian selalu mengatakan beras suplus. Namun di sisi lain, Bulog tetap melakukan impor karena beras yang mau dibeli tidak ada di tingkat petani,” katanya.

Pertentangan kedua lembaga ini membuktikan lemahnya koordinasi antara kementerian di dalam internal pemerintahan. Masyarakat, khususnya petani padi selalu diombang-ambing dengan kebijakan perberasan yang membingungkan. “Katanya surplus, kok masih tetap melakukan impor,” kritiknya.

Selama ini, katanya, pemerintah selalu beralasan impor dilakukan untuk memperkuat cadangan beras nasional yang minimal harus tersedia stock 10 persen dari kebutuhan nasional.  Dengan stock beras 10 persen, pemerintah dapat mengamankan stock kebutuhan beras antara 4 sampai 5 bulan ke depan.

Dengan terus berulangnya impor beras menyebabkan daya tawar petani untuk mendapatkan hasil maksimal dari produktivitasnya menanam padi semakin sulit dijangkau. “Apalagi, harga patokan  pemerintah (HPP) untuk beras yang siap dibeli Bulog jauh di bawah harga bila petani menjualnya langsung ke pasar,” katanya.

Harga Pokok Pembelian (HPP) yang ditetapkan pemerintah terlalu murah di mata petani. Harga beras Rp 5.060,- per kg. Petani merasa rugi, karena di luar bisa menjual di atas Rp 6.000,- per kg. “Bulog memang diberi kewenangan membeli beras dengan subsidi harga maksimal Rp 300-400 per kg. Tapi itu masih kurang di mata petani. Sementara pemerintah tidak mau menaikkan HPP,” katanya.

Untuk  meningkakan produktivitas petani, perlu diberikan insentif berupa kenaikan harga gabah di tingkat petani. Namun, karena beras dianggap sebagai menyumbang inflasi terbesar dari pangan, usulan kenaikan HPP tidak pernah dipenuhi pemerintah.

“ Dewan sudah menyampaikan itu kepada pemerintah. Namun saran itu tidak dilakukan pemerintah. Kebijakan itu dinilai akan memacu inflasi karena komponen beras cukup signifikan dalam mendorong naiknya inflasi,” katanya.

Viva mengkritik lemahnya basis data yang dimiliki kementerian terkait dengan lembaga pendukung produksi pangan. Bahkan, audit lahan, terakhir dilakukan pada tahun 1987. “Saya sangat yakin laju konversi lahan pertanian untuk pemukiman dan industri jumlahnya lebih besar dibanding upaya pemerintah mencetak lahan baru. Bagaimana kita bisa mengetahui produktivitas pertanian bila tidak mengetahui seberapa luas lahan produktif yang digunakan untuk berproduksi. Inilah negeri kita,” katanya.

Permasalahan masih  pada soal surplus beras sebagaimana pengakuan Kementan. Tapi Bulog tidak bisa melakukan penyerapan karena beras tidak ada di tingkat masyarakat karena menilai harganya terlalu rendah. “Makanya, pemerintah ambil jalan pintas dengan melakukan impor,” katanya.

Diabaikannya basis data yang kuat menyebabkan kebijakan yang diambil tidak mengenai sasaran yang tepat. Pengalaman tahun 2010, Kementan menyatakan terjadi surplus beras 4,2 juta ton, tetapi kenapa Bulog tetap mengimpor 3,5 juta ton. “Edan kan. Surplus kok impor. Apa penyebabnya ? Bisa datanya salah. Kalau datanya benar, barang itu adanya dimana ?,” tanyanya.

Untuk meningkatkan produksi beras, salah satunya adalah dengan memberikan insentif kepada petani berapa kenaikan HPP. “Menaikkan HPP kan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Saya kira cukup adil lah kalau eksesnya mendorong naiknya inflasi. Yang penting petani kan lebih sejahtera. Dibanding memberikan subsidi pupuk, tetapi tak jelas penyalurannya.“Subsidi pupuk juga tidak kecil loh,” ucapnya.

Viva menilai pemerintah tidak serius dalam merumuskan kebijakan perberasan.  Anggaran yang dialokasikan untuk Kementerian Pertanian sangat minim.  Tahun 2011, alokasi untuk Kementerian Pertanian hanya Rp 16,8 triliun. Cuma 1,3 persen dari PDB,” katanya.

Viva menilai banyak persoalan yang dihadapi pemerintah untuk mendorong swasembada beras. Mulai dari pengalokasian subsidi pupuk yang tepat sasaran sampai kepada pengembangan jaringan irigasi yang baik. “Yang utama perbaiki basis data. Dengan data yang bagus kita akan tahu kapan harus impor dan kapan tidak. iin achmad

http://www.agrofarm.co.id/read/pertanian/883/viva-yoga-mauladi-kita-sudah-darurat-pangan/#.VC807md_vyQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar