Rabu, 29 Oktober 2014

Tidak Perlu Malu Jadi Anak Singkong

Rabu, 29 Oktober 2014

Tekan Impor Melalui Gerakan Konsumsi Pangan Lokal

“TIDAK kenyang kalau tidak makan nasi”

Istilah tersebut sepertinya telah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Entah siapa yang mempopulerkan kebiasaan makan nasi pada penduduk di negara ini. Akan tetapi, kebiasaan itu sudah menjadi tradisi turun temurun bahkan karbohidrat tersebut sudah menjadi makan pokok idola masyarakat negeri ini.

Kendati demikian ada sesuatu yang tidak kita sadari, bahwa untuk menanam padi dan memproduksi beras yang nantinya akan di masak menjadi nasi di lahan negeri ini sebagian sarananya masih impor. Sejumlah komoditas sarana produksi padi seperti pupuk, pestisida, bibit, hingga mesin mekanik untuk menanam tanaman bernama latin oryza sativa itu harus membeli di luar negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah selama tiga tahun terakhir mulai 2012, 2013, hingga Agustus 2014 nilai impor sarana produksi padi terus meningkat. Misalnya untuk pupuk, pada tahun 2012 pupuk yang diimpor ke Jawa Tengah nilainya mencapai 13,75 juta Dolar AS.

Nilai tersebut meningkat di tahun 2013, yakni mencapai 17,79 juta Dolar AS dan pada 2014 hingga bulan Agustus impor pupuk mencapai 9,94 juta Dolar AS.

Tidak hanya pupuk, bahan-bahan organik pembasmi hama atau pestisida yang dibeli produsen di bidang pertanian dari luar negeri pun nilainya 106,41 juta Dolar AS pada tahun 2012. Kemudian, di tahun 2013 nilai impor pestisida meningkat menjadi 120,91 juta Dolar AS.

Sedangkan pada 2014 hingga bulan Agustus, pembelian bahan organik penolak dan pembasmi organisme pengganggu tersebut mencapai 71,33 juta Dolar AS.

Sama halnya dengan pupuk dan pestisida, mesin mekanik yang digunakan untuk membajak hingga menggiling padi menjadi beras juga mencetak nilai impor yang tidak sedikit. Untuk tahun 2012 nilainya mencapai 1,10 miliar Dolar AS, lalu pada 2013 pembelian mesin-mesin tersebut senilai 879 juta Dolar AS, dan hingga Agustus 2014 nilainya 744 juta Dolar AS.

Impor Sarana Produksi

Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Jateng, Jam Jam Zamachsyari mengatakan, untuk mendukung produksi padi yang akan menjadi beras, produsen di bidang pertanian di Jateng memang masih mengimpor dari luar negeri. ‘’Adapun impor tersebut dari sejumlah negara seperti, Tiongkok, Malaysia, Amerika, Turki, dan Korea Selatan,’’ ungkapnya.

Impor sarana produksi padi yang terus berlangsung hingga sekarang ini tidak bisa dipungkiri salah satu faktornya karena masih tingginya konsumsi nasi oleh penduduk di Jateng. Maka untuk menekan nilai impor terhadap komoditas sarana produksi padi tersebut dibutuhkan sebuah langkah taktis dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

‘’Perlu ada upaya dari setiap penduduk di Jateng khususnya untuk mengatur kebutuhan makan sendiri dan tidak harus selalu bergantung pada beras/nasi sebagai makanan pokok. Sebab masih banyak pangan pokok berbasis sumber daya lokal selain beras yang dapat dikonsumsi seperti, jagung, sagu, kentang, ubi jalar, talas, singkong, sukun, pisang, sorghum. Kemudian, ganyong, garut, uwi, gembili, labu kuning, kimpul, gadung, hingga kedelai,’’ jelas dosen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Fitriyono Ayustaningwarno.

Menurut Sekretaris Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Semarang itu, untuk mengembalikan makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal, pemerintah perlu melaksanakan berbagai program yang sasarannya pada Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya lokal.

Program tersebut bertujuan untuk mengembalikan kesadaran masyarakat pada pola konsumsi pangan pokok non beras/non terigu, dan tentunya bersumber pangan lokal.

Upaya itu pun sudah direspon positif oleh Pemerintah Provinsi Jateng di bawah kepemimpinan Gubernur Ganjar Pranowo. Melalui Badan Ketahanan Pangan, pemerintah menggalakkan program Gerakan Konsumsi Pangan Lokal.

Adapun caranya dengan mempromosikan pangan lokal melalui pemberitaan, bazaar, pameran, lomba, dan lainnya. Lembaga tersebut mempercayai jika hal itu dilakukan secara terus menerus akan mengubah kebiasaan masyarakat untuk mau mengkonsumsi olahan singkong, jagung, atau gembili. Selain itu, jika ini berhasil dilakukan niscaya juga akan menurunkan konsumsi beras perkapita di tingkat rumah tangga.

Kepala Bidang Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah, Suranto mengatakan,  ketersediaan pangan di Jawa Tengah ini mengalami surplus, utamanya beras. Tapi pemerintah perlu terus menggalakkan konsumsi pangan lokal non beras. Pertama, untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.

‘’Perlu diketahui, bahwa produksi beras sendiri saat ini membutuhkan cukup banyak pupuk kimia dan pestisida. Meskipun residu pada hasilnya dibawah ambang batas keamanan, namun perlu dikurangi konsumsinya,’’ ungkapnya.

Selain itu yang kedua, lanjut dia, untuk pertimbangan kesehatan warga. Bagaimanapun konsumsi pangan beragam akan lebih banyak memasukkan varian unsur gizi ke dalam tubuh. Jadi diversifikasi pangan sangat penting.

Senada dengan yang disampaikan Badan Ketahanan Pangan Jateng, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Divre Jateng juga mendukung penggunaan bahan pangan lokal untuk mencapai kedaulatan pangan di provinsi ini.

Sebagai pemimpin badan yang salah satu tugasnya melakukan pemupukan stok pangan, Kepala Perum Bulog Divre Jateng Damin Hartono menyampaikan, hingga sekarang karbohidrat yang dikonsumsi setiap penduduk masih didominasi dari beras.

‘’Kebutuhan manusia akan karbohidrat 78% masih bergantung dari beras, 17% dari terigu, dan 5% dari kudapan/jajan pasar. Artinya pemanfaatan pangan lokal untuk dikonsumsi masih sedikit. Ya, walaupun sejak 2012 Perum Bulog tidak melakukan impor beras karena selalu surplus bahkan bisa membantu daerah lain, akan tetapi konsumsi pangan lokal harus terus digalakkan,’’ jelasnya.

Apalagi, lanjut dia, tren makanan dari gandum/tepung terigu mulai mendesak dan digemari masyarakat. Sehingga, kalau bisa warga harus segera sadar dan mengubah mindset untuk mengkonsumsi pangan lokal sebagai pengganti beras, dan pemerintah perlu membuat regulasi untuk memasyarakatkan bahan lokal tidak hanya sekadar jadi kudapan tetapi juga makanan utama/pokok.

(Anggun Puspita/ CN33/ SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/tidak-perlu-malu-jadi-anak-singkong/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar