Kamis, 16 Oktober 2014
TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Kisruh gula nasional ikut membawa Badan Urusan Logistik Divisi Regional (Divre) Jawa Timur ikut menanggung dampaknya.
Sebab sekitar 2.308 ton gula tersimpan di gudang Bulog Kebonagung, Kabupetan Malang dan sulit dijual.
Perum Bulog membeli gula produksi PT Rajawali Nasional Indonesia (RNI), salah satu BUMN produsen gula pada April 2014. Sebanyak 2808 ton gula dari Pabrik Gula (PG) Krebet milik RNI kemudian dipindah ke gudang Bulog Kebonagung.
“Jadi yang melakukan pembelian itu Bulog pusat, sementara Divre Jatim ditunjuk untuk mengambil barang dari PG Krebet. Barang harus segera kami pindahkan, karena kalau tidak kami kena pinalti,” ungkap Kadivre Bulog Jatim, Rusdianto, Rabu (15/10/2014).
Gula tersebut kemudian dikirim ke beberapa Divre lain, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat dan ke luar Jawa.
Namun hingga saat ini, hanya 500 ton gula yang bisa dijual. Selebihnya, 2.308 ton masih tersimpan di gudang Kebonagung.
Kondisi ini tidak lepas dari perbedaan harga pembelian, dengan harga pasaran. Saat pembelian, kesepakatan antara Bulog dan RNI sebesar Rp 8.760 per kilogram.
Sementara kondisi saat ini, harga di pasaran untuk partai antara Rp 8.500 sampai Rp 8.600 per kilogram. Kondisi ini menyulitkan Bulog untuk menjual gula tersebut secara partai.
“Kami tidak mungkin lagi menjual dengan system partai, karena harganya sudah kalah di pasaran. Mau tidak mau kami harus mengecer,” terang Rusdianto.
Masih menurut Rusdi, kondisi yang sama juga dialami Bulog di provinsi lain. Mereka kesulitan menjual, sehingga tidak lagi minta kiriman dari Jawa Timur.
Kondisi ini berbeda dari sebelumnya, dimana surplus gula Jawa Timur bisa dijual ke luar Jawa, khususnya Indonesia timur.
Rudi mengakui, pada pemasok lain yang memenuhi kebutuhan gula di wilayah tersebut. Mereka menjual dengan harga lebih murah. Akibatnya Bulog tidak bisa lagi menjual dengan standar harga yang sama.
Namun saat ditanya, siapa pihak yang menggantikan peran Bulog, Rusdianto enggan menjawab.
“Sebenarnya bisa dilihat, produsen gula ya itu-itu saja, terus ada pihak swasta juga. Tapi siapa yang mengendalikan harga, bukan kapasitas saya menjawab,” kilahnya.
Untuk memudahkan penjualan, Bulog Divre Jatim terpaksa berinovasi dengan cara diecer. Gula yang tersisa dikemas dalam plastik ukuran satu hingga beberapa kilogram.
Akibatnya bulog harus mengeluarkan biaya ekstra untuk plastik, timbang dan kemas sebesar Rp 500 per kemasan.
Untuk menekan harga, Rusdianto bahkan sampai harus memberdayakan karyawannya.
Setidaknya setiap orang menyempatkan diri mengemas 10 bungkus gula. Cara ini meniadakan biaya kemas dan timbang.
“Kalau plastik memang harus untuk kemasan. Kalau karyawan kita sendiri yang nimbang dan mengemas, kan bisa menekan ongkos,” ujarnya.
Dengan cara ini Bulog bisa menjual dengan harga Rp 9.400 per kilogram. Gula-gula tersebut kemudian dipasok ke 13 sub-divisi regional yang ada di Jawa Timur untuk dipasarkan. Cara ini juga tidak sepenuhnya berjalan lancar.
Dari 13 sub-Divre tersebut, hanya Malang yang Tulungagung stoknya habis. Itu pun jumlahnya hanya beberapa ton. Sementara stok sub-Divre lain masih menumpuk dan belum order lagi.
Di lain sisi, Bulog harus bekerja ekstra untuk menjaga kualitas gula yang ada di gudang Kebonagung Malang.
“Untung saja tikus tidak suka dengan gula. Kami usahakan agar tidak ada sirkulasi udara, sehingga gula tidak turun kualitasnya dan tidak meleleh,” tutur Rusdianto.
Meski demikian, Rusdianto yakin hingga akhir tahun seluruh stok gula yang tersisa bisa terjual habis.
Caranya, kini Bulog Divre Jatim pintar-pintar menggalakan penjualan langsung ke tengah masyarakat. Antara lain melalui pasar rakyat, bazaar dan pasar murah yang banyak diminati warga.
Momentum operasi pasar juga dimaksimalkan untuk mengeluarkan stok yang ada di gudang. Rusdianto berharap ada momentum kenaikan harga, diiringi permintaan pasar.
“Karena Bulog menjual gula ini murni kegiatan bisnis kami. Kalau begini terus Bulog bisa merugi,” pungkasnya.
Sementara pejabat lain yang enggan disebut namanya, selain produsen gula dalam negeri, ada pihak swasta yang juga menjadi produsen gula.
Ada pula para importir terdata yang turut menjadi pemasok gula di dalam negeri.
Pada kenyataannya banyak gula yang beredar di masyarakat tanpa terkendali. Bahkan gula rafinasi yang seharusnya hanya untuk industri, juga turut beredar bebas.
Gula dengan kandungan diabetes tinggi ini berbaur dengan gula konsumsi dalam kemasan eceran.
“Sebenarnya gampang saja, berapa kebutuhan nasional dan berapa kekurangannya. Kekurangan ini yang kita tutup dengan import. Tapi kondisi saat ini kan memang sengaja dimainkan,” ujar pejabat tersebut.
http://www.tribunnews.com/regional/2014/10/16/bulog-ikut-kesulitan-menjual
Tidak ada komentar:
Posting Komentar