Mataram, (Antara) - Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Nusa Tenggara Barat kesulitan menyerap kedelai hasil petani di daerah itu karena kalah bersaing dengan pedagang pengumpul yang berani membeli di atas harga pembelian pemerintah.
"Kami tidak berani membeli di atas harga pembelian pemerintah (HPP), kalau pedagang pengumpul berani," kata Linda, Humas Perum Bulog Divre Nusa Tenggara Barat (NTB), di Mataram, Selasa.
Dia mengatakan, pihaknya mentargetkan mampu menyerap sebanyak 100 ton kedelai hasil produksi petani yang tersebar di 10 kabupaten/kota di NTB.
Program itu merupakan bagian dari upaya Perum Bulog yang mentargetkan menyerap kedelai dari para petani pada 2014 sebesar 10 persen atau 100 ribu ton dari dari sasaran produksi nasional sebanyak satu juta ton.
Namun, kata Linda, hingga saat ini baru 61 ton yang berhasil dibeli. Penyerapan kedelai lokal terbanyak di wilayah Pulau Lombok, yakni sebanyak 37 ton, sedangkan di Pulau Sumbawa sebanyak 24 ton.
Dari total kedelai yang berhasil dibeli, sebanyak 20 ton sudah dijual kembali ke Jawa Timur, dengan harga bervariasi, yakni Rp7.200 hingga Rp7.600/kg. Sementara sisanya masih tersimpan di gudang.
Bulog Divre NTB berharap para perajin tahu dan tempe akan membeli kedelai lokal tersebut, namun pada kenyataannya mereka lebih tertarik membeli kedelai impor dengan alasan menjaga kualitas produknya.
"Para perajin tahu dan tempe, khususnya di Kota Mataram, lebih senang membeli kedelai impor. Makanya kami menjual kedelai lokal ke luar NTB," ujarnya.
Pembelian kedelai lokal, menurut dia, sebagai salah satu bentuk kegiatan komersial Bulog, selain menjual daging sapi dan gula pasir. Hal itu sesuai dengan arahan dari pusat.
Meskipun belum mampu mencapai target yang diharapkan, kata Linda, pihaknya tidak menghentikan kegiatan komersial tersebut karena harus menunggu instruksi dari pusat.
"Untuk pengadaan kedelai tahun depan kami masih menunggu instruksi dari pusat," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar