Jumat, 31 Oktober 2014
‘’TIDAK kenyang kalau tak makan nasi’’. Ungkapan itu telah mendarah daging di kalangan masyarakat kita. Nasi dari beras telah menjadi sumber karbohidrat utama, bahkan di daerah-daerah yang semula makanan pokoknya bukan beras.
Jagung, sagu, dan ubi-ubian kian tersingkir dan terlupakan sebagai bahan pangan potensial sumber karbohidrat. Akibatnya, permintaan melonjak dan tak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri, sehingga terpaksa mengimpor beras yang berarti mengeluarkan devisa.
Menanam padi juga kian mahal karena sejumlah sarana produksi antara lain pupuk, pestisida, bibit, dan mesin harus impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng menunjukkan, mulai 2012, 2013, hingga Agustus 2014 nilai impor sarana produksi padi terus meningkat. Contohnya pupuk, pada 2012 yang diimpor ke provinsi ini nilainya mencapai 13,75 juta dolar AS.
Lalu, tahun lalu naik menjadi 17,79 juta dolar AS dan 2014 hingga Agustus 9,94 juta dolar AS. Tak hanya pupuk, pembasmi hama atau pestisida yang dibeli produsen di bidang pertanian dari luar negeri nilainya 106,41 juta dolar AS pada 2012.
Kemudian, tahun lalu nilai impor pestisida meningkat menjadi 120,91 juta dolar AS, sedangkan tahun ini hingga Agustus mencapai 71,33 juta dolar AS. Sama dengan pupuk dan pestisida, mesin untuk membajak dan menggiling padi menjadi beras juga mencetak nilai impor tidak sedikit.
Tahun 2012 nilainya mencapai 1,10 miliar dolar AS, 2013 senilai 879 juta dolar AS, dan hingga Agustus 2014 sebesar 744 juta dolar AS.
Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Jateng Jam Jam Zamachsyari mengatakan untuk mendukung produksi padi yang akan menjadi beras, produsen di bidang pertanian di Jateng memang masih mengimpor. ‘’Impor tersebut dari sejumlah negara, misalnya Tiongkok, Malaysia, AS, Turki, dan Korea Selatan,’’ungkap dia.
Impor sarana produksi padi yang terus berlangsung hingga sekarang tidak bisa dimungkiri salah satu faktornya karena konsumsi nasi oleh penduduk di Jateng sangat tinggi. Untuk menekan nilai impor sarana produksi padi tersebut, dibutuhkan langkah taktis dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
‘’Perlu ada upaya dari setiap penduduk di Jateng untuk mengatur kebutuhan makan sendiri, dan tidak harus selalu bergantung pada beras atau nasi sebagai makanan pokok. Sebab, masih banyak pangan pokok berbasis sumber daya lokal selain beras yang dapat dikonsumsi, misalnya jagung, sagu, kentang, ubi jalar, talas, singkong, sukun, pisang, sorgum.
Kemudian, ganyong, garut, uwi, gembili, labu kuning, kimpul, gadung, hingga kedelai,’’ ujar pengajar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Fitriyono Ayustaningwarno.
Menurut Sekretaris Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Semarang itu, untuk mengembalikan makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal, pemerintah perlu melaksanakan berbagai program yang sasarannya pada Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP).
Pangan Lokal
Program tersebut bertujuan mengembalikan kesadaran masyarakat pada pola konsumsi pangan pokok nonberas atau nonterigu, dan tentu saja bersumber pada pangan lokal. Upaya itu sudah direspons positif oleh Pemprov Jateng di bawah kepemimpinan Gubernur Ganjar Pranowo.
Melalui Badan Ketahanan Pangan, pemerintah menggalakkan program Gerakan Konsumsi Pangan Lokal. Caranya, mempromosikan pangan lokal melalui pemberitaan, bazar, pameran, lomba, dan lainnya. Lembaga tersebut percaya, jika hal itu dilakukan secara terusmenerus, akan mengubah kebiasaan masyarakat agar mau mengonsumsi olahan singkong, jagung, atau gembili.
Selain itu, kalau berhasil dilakukan, niscaya juga akan menurunkan konsumsi beras per kapita di tingkat rumah tangga. Kepala Bidang Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan Jateng, Suranto, mengatakan ketersediaan pangan di provinsi ini mengalami surplus, terutama beras.
Tapi pemerintah perlu terus menggalakkan konsumsi pangan lokal nonberas. Pertama, untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. ‘’Produksi beras saat ini membutuhkan banyak pupuk kimia dan pestisida. Meskipun residu pada hasilnya di bawah ambang batas keamanan, perlu dikurangi konsumsinya,’’ tegas dia.
Di samping itu, yang kedua, untuk pertimbangan kesehatan warga. Bagaimana pun konsumsi pangan beragam akan lebih banyak memasukkan varian unsur gizi ke dalam tubuh. Jadi, diversifikasi pangan sangat penting. Senada dengan yang disampaikan Badan Ketahanan Pangan Jateng, Perum Bulog Divre Jateng juga mendukung penggunaan bahan pangan lokal untuk mencapai kedaulatan pangan di provinsi ini.
Sebagai pemimpin badan yang salah satu tugasnya melakukan stok pangan, Kepala Perum Bulog Divre Jateng Damin Hartono menyampaikan hingga sekarang karbohidrat yang dikonsumsi setiap penduduk masih didominasi beras. ‘
’Kebutuhan manusia akan karbohidrat, 78% masih bergantung pada beras, 17% terigu, dan 5% kudapan atau jajan pasar. Artinya, pemanfaatan pangan lokal untuk dikonsumsi masih sedikit. Ya, walaupun sejak 2012 Perum Bulog tidak melakukan impor beras karena selalu surplus bahkan bisa membantu daerah lain, tetapi konsumsi pangan lokal harus terus digalakkan,’’ujar dia.
Apalagi, tren makanan dari gandum atau tepung terigu mulai mendesak dan makin digemari masyarakat. Kalau bisa, warga harus segera sadar dan mengubah pola pikir untuk mengonsumsi pangan lokal sebagai pengganti beras.(Anggun Puspita-29)
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/menekan-impor-melalui-pangan-lokal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar