Selasa, 01 November 2016

Bulog dan Stabilisasi Harga Pangan

Senin,31 Oktober 2016


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip *)

Tahun ini, inflasi diperkirakan di bawah asumsi APBN 2016 sebesar 4 persen. Hingga September 2016 lalu, laju inflasi mencapai 1,97 persen (year to date/ytd) dan 3,07 persen (year on year/yoy). Pada 2017, sesuai asumsi APBN 2017, inflasi diperkirakan masih berada di level yang rendah, yaitu 4 persen. Tak dapat dipungkiri bahwa terjaganya inflasi ini sebagian besar disebabkan oleh menurunnya inflasi karena harga yang ditetapkan oleh pemerintah (administered inflation). Sampai dengan September 2016, administered inflation justru mengalami deflasi -1,45 persen (ytd) dan -0,38 persen (yoy). Kelompok inflasi administered priced ini antara lain harga BBM, harga listrik, dan tarif angkutan umum yang memang berada dalam tren yang menurun sejak 2015.

Namun, kita juga mengakui bahwa relatif terjaganya laju inflasi tersebut juga terdapat keberhasilan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat menjaga stabilitas harga. Hal ini, antara lain terlihat dari menurunnya laju inflasi karena fluktuasi harga pangan (volatile food). Meskipun inflasi karena volatile food masih relatif tinggi, namun trennya menunjukan penurunan dalam tiga tahun terakhir. Pada 2013, inflasi volatile food sempat menyentuh level di atas 15 persen (yoy) dan sampai dengan September 2016 ini hanya sebesar 6,51 persen.

Kinerja inflasi volatile food yang menurun menunjukkan bahwa koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia, pemerintah daerah, dan instrumen pemerintah (seperti BUMN dan BUMD) dalam mengendalikan laju inflasi terlihat cukup efektif, sehingga inflasi akibat volatile food relatif dapat diatasi. Upaya pemberian subsidi pertanian melalui kartu tani, kebijakan dan dukungan penyediaan lahan oleh pemerintah serta penyediaan infrastruktur penunjang produksi seperti cold storage dan saluran irigasi juga dinilai mampu mendorong perbaikan dari sisi produksi.

Keterlibatan BUMN, dalam hal ini Bulog, dalam menjaga kestabilan harga, khususnya bahan makanan terlihat cukup berhasil. Selama 2016 ini, pelaksanaan operasi pasar murah di berbagai daerah untuk beberapa komoditas utama seperti beras, daging sapi, dan gula pasir turut menjaga terkendalinya harga. Perluasan kerja sama antar daerah, penguatan peran kerja sama antara Bulog dan BUMD juga turut memberikan dampak positif terhadap efektivitas distribusi.

Berbicara tentang peran Bulog sebagai stabilisator harga pangan, sebenarnya masih banyak hal yang perlu dibenahi, baik dari sisi pengaturan kelembagaan, infrastruktur, dan kapabilitas Bulog. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48/2016, pemerintah menugaskan kepada BUMN untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen. Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa pemerintah menugaskan Bulog dalam menjaga ketersediaan pangan dan stabilitas harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen untuk jenis pangan pokok beras, jagung, dan kedelai.

Kewajiban Bulog (dan BUMN lainnya) dalam rangka stabilitas harga pangan hingga di tingkat konsumen dan produsen ini sebenarnya positif. Namun, tidak mudah dalam implementasinya. Pertama, realitas di lapangan menunjukan bahwa Bulog dan BUMN pangan lainnya bukanlah pemain utama di pasar. Berdasarkan keterangan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) disebutkan bahwa Bulog hanya menguasai 20 hingga 25 persen pangsa pasar beras di Indonesia. Sebaliknya, pengusaha beras menguasai sekitar 75 hingga 80 persen pangsa pasar (Kontan, 3 Maret 2015). Kondisi ini tentunya menempatkan Bulog pada posisi yang kurang ideal dalam hal stabilisasi harga.

Kedua, mata rantai bisnis bahan pangan cukup panjang dan banyak melibatkan pemain. Berdasarkan survei BPS (2015), distribusi perdagangan beras di Indonesia melibatkan produsen (termasuk importir), lalu distributor, pedagang pengumpul, sub distributor, agen, sub agen, pedagang grosir, pedagang eceran, super market baru kemudian beras sampai ke tangan konsumen (baik rumah tangga maupun non rumah tangga). Panjangnya rantai distribusi perdagangan beras membuat jangkauan pengawasan Bulog menjadi terbatas.

Dengan kapasitas Bulog yang terbatas, akan sulit bagi Bulog dapat menjamin harga hingga di tingkat konsumen sesuai kehendak pemerintah. Terlalu berat bila Bulog dibebani dengan kewajiban untuk memastikan kestabilan harga sampai di tingkat konsumen. Implikasinya, bila harga pangan di tingkat konsumen melonjak akibat permainan harga yang dilakukan oleh pihak di luar Bulog, Bulog berpotensi terekspos oleh berbagai risiko (risiko finansial, operasional, hukum, dan risiko reputasi). Kita menyaksikan, misalnya, Bulog terpaksa harus berurusan dengan kasus-kasus hukum yang tidak terkait langsung dengan Bulog.

Dengan melihat kedua realitas di atas, saya berpendapat bahwa pengamanan harga pangan sampai ke tingkat konsumen seyogyanya tidak menjadi tanggung jawab Bulog semata. Tanggung jawab Bulog (dan BUMN pangan lainnya) perlu disesuaikan dengan jangkauannya. Dalam hal ini, mungkin ada baiknya bila model tanggung jawab menjaga kestabilan harga pupuk (bersubsidi) dapat diterapkan pada penanganan harga pangan. Pada komoditas pupuk, tanggung jawab produsen pupuk untuk menjaga kestabilan harga hanya sampai distributor. Selanjutnya, harga di tingkat pengecer menjadi tanggung jawab distributor. Bila terjadi penyimpangan harga oleh pengecer, distributor yang bertanggung jawab.

Dengan pola seperti ini, produsen pupuk bisa fokus dalam menjaga produksi pupuknya. Dan bila pola ini diterapkan pada Bulog (dan BUMN pangan lainnya), Bulog juga bisa lebih fokus pada isu-isu yang lebih strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan secara nasional sekaligus meningkatkan kapasitas usahanya.

Belakangan ini, kita mendengar Kementerian BUMN akan membentuk induk perusahaan (holding) BUMN sektor pangan baik yang bergerak di sektor produksi maupun perdagangan (distribusi). Bertindak sebagai holding adalah Bulog yang akan membawahi Sang Hyang Seri, Pertani, Berdikari, Perikanan Indonesia, Perikanan Nusantara, Perusahaan Perdagangan Indonesia, dan Bhanda Ghara Reksa.

Di lihat dari sisi korporasi, konsep holding BUMN ini positif bagi peningkatan kapabilitas BUMN pangan. Namun, yang perlu dicatat bahwa pembentukan holding ini hanya merupakan salah satu dari keseluruhan rangkaian upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan. Di luar itu, konsep holding BUMN pangan ini juga perlu disinkronkan dengan keberadaan kelembagaan pangan yang seharusnya dibentuk sesuai dengan mandat dari UU No. 18/2012 tentang Pangan.

Selain pembenahan secara korporasi, pembenahan kelembagaan pangan lainnya juga perlu dilakukan. Untuk mendukung ketahanan pangan dan stabilisasi harga, diperlukan perbaikan infrastruktur dan tata niaga. Pembenahan kelembagaan basis produksi, distribusi dan penjualan saat ini dirasakan masih kurang memadai. Selain itu, rantai tata niaga beberapa komoditas pangan pun masih belum efektif.

Kesimpulannya, ternyata masih banyak hal yang memang perlu dibenahi dalam upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan dan stabilitas harga pangan. Kita memiliki keyakinan bahwa pembenahan yang dilakukan secara konsisten terhadap seluruh aspek terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan dan stabilitas harga, baik dari sisi kapabilitas korporasi, infrastruktur, regulasi, dan kelembagaan akan dapat mempercepat upaya tersebut.


*) Chief Economist Bank Bukopin

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/10/30/ofv7re396-bulog-dan-stabilisasi-harga-pangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar