Rabu, 16 Desember 2015
Apa yang membedakan pembangunan pertanian, khususnya pangan, pada satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dengan era pemerintahan-pemerintahan sebelumnya?
Kalau melihat dari strategi pencapaiannya, tidak jauh berbeda. Pola lama masih terus digunakan. Pemerintah masih mengandalkan anggaran besar melalui berbagai program subsidi/bantuan sebanyak-banyaknya, memberi insentif harga dengan memaksa harga komoditas pertanian naik di tingkat petani dan pada saat yang sama memberatkan konsumen dan pelaku usaha lain, serta mengambil jalan pintas memangkas impor sekadar mengejar pencapaian swasembada semu.
Kalaupun ada pembeda lebih pada skala bantuannya. Bila era sebelumnya berbagai program bantuan dalam volume kecil, sekarang jauh lebih besar. Misalnya, bantuan alat dan mesin pertanian dari 4.000 unit naik menjadi 80.000 unit.
Pembeda lain yang menonjol dan berorientasi pembangunan pertanian dan pangan jangka panjang adalah perbaikan jaringan irigasi tersier dalam skala besar, serta rencana pembangunan waduk lengkap dengan jaringan irigasinya.
Capaian 2015
Pencapaian yang diraih dalam pembangunan pertanian nasional pada 2015 masih perlu dipertanyakan. Argumentasi yang dibangun bertumpu pada kenaikan nilai tukar petani yang sejatinya belum mencerminkan tingkat kesejahteraan petani secara utuh, dan penghematan devisa negara untuk impor produk pertanian.
Bonus lain dari pembangunan pertanian dan pangan yang serba mau instan adalah terjadi kegaduhan di semua lini, keluhan dari para pelaku usaha, naiknya harga-harga komoditas pertanian-pangan dan merosotnya daya saing produk pertanian, seperti perunggasan, jagung, beras, daging sapi, gula, susu, komoditas hortikultura, kakao, juga karet.
Saat memasuki 2015 masyarakat kelas menengah-bawah semakin berat mengadapi tekanan hidup. Harga beras pada awal 2015 naik tinggi hingga 30 persen, dan tetap tinggi sampai akhir tahun ini sekalipun produksi beras 2015 diperkirakan Badan Pusat Statistik naik signifikan. Beras kualitas medium juga sejak awal November 2015 mulai langka di pasaran.
Jagung yang merupakan bahan baku utama pakan ternak, karena 50 persen bahan pakan berasal dari jagung, pada 2015 harganya meroket. Kenaikan harga jagung 40-50 persen, bahkan sempat menyentuh Rp 5.000 per kilogram, jauh di atas harga jagung dunia yang hanya Rp 3.000.
Kondisi sama dialami peternak ayam petelur. Tekanan harga jagung tinggi membuat mereka berupaya keras menaikan harga telur di tingkat peternak. Meski sudah kompak, tetap saja harga telur sulit diangkat. Lagi-lagi daya beli masyarakat tak mampu menyelamatkan mereka. Peternak ayam petelur sekarang dihantui kebangkrutan.
Sepanjang 2015 dan sejatinya sejak 2013, harga daging sapi cenderung tinggi tidak terkendali. Di tingkat konsumen harga daging sapi tembus Rp 120.000 per kg. Pasca Lebaran mulai turun, tetapi tetap tinggi berkisar Rp 100.000-Rp 110.000 per kg. Kondisi pertanaman kedelai belum menjadi perhatian. Komoditas yang menjadi andalan asupan protein masyarakat kelas bawah selain telur ini semakin tertatih-tatih.
Kebutuhan kedelai naik pesat baik untuk bahan baku tempe, tahu, tauco, kecap maupun untuk konsumsi langsung dan bahan baku susu kedelai, yang usahanya banyak didominasi skala kecil-menengah. Daya saing komoditas kedelai juga maakin payah. Impor kedelai semakin besar dari waktu ke waktu.
Gula juga terus mengalami persoalan. Produksi gula tidak pernah beranjak dari 2,6 juta ton per tahun, padahal kebutuhan gula nasional sudah mencapai 5 juta ton. Untuk konsumsi langsung, usaha UMKM maupun industri makanan-minuman, farmasi, dan kebutuhan industri lain. Komoditas susu sapi tidak pernah mengalami perbaikan. Populasi sapi perah dalam negeri terus menurun. Kontribusi susu sapi dalam negeri terus menurun, sekarang tinggal 15-20 persen dari total kebutuhan nasional. Pada era Orde Baru kontribusi itu hampir mencapai 50 persen. Sapi potong mempunyai harapan dengan adanya tol laut, tetapi belum teruji.
Komoditas kakao dan karet juga terpuruk. Kalaupun ada yang bisa dibanggakan hanyalah minyak sawit. Namun, itu bertahan lebih karena para pemainnya, perusahaan skala besar, memiliki modal dan daya juang tinggi untuk terus mempertahankan pasar dunia. Perkebunan kelapa sawit rakyat tidak begitu banyak mendapat sentuhan pemerintah dan juga terpuruk.
Kapasitas produksi
Masalah utama komoditas pertanian Indonesia terutama pangan adalah rendahnya kapasitas produksi. Keterbatasan kapasitas produksi ini memicu komoditas pertanian kalah bersaing di semua tingkatan.
Kecuali sawit, harga komoditas pertanian Indonesia kalah bersaing dari negara lain. Harga beras dua kali lipat dari Vietnam, begitu pula dengan gula dari Thailand. Harga jagung kita Rp 2.000 per kg lebih tinggi dari jagung impor. Begitu pula harga kedelai dalam negeri juga lebih tinggi dari kedelai impor. Juga harga daging sapi Rp 20.000-Rp 30.000 per kg lebih mahal dari harga dunia.
Pendek kata hampir semua komoditas pertanian Indonesia, kecuali minyak sawit, kalah bersaing. Komoditas pertanian selain dikonsumsi langsung masyarakat juga menjadi bahan baku industri. Karena harga kalah bersaing, industri pengguna otomatis juga kalah bersaing. Begitu pula dengan produk olahannya.
Skala usaha tani rumah tangga pertanian mutlak harus ditingkatkan. Pembangunan pertanian dan pangan Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan usaha tani skala kecil yang bertumpu pada skala pengelolaan lahan padi, jagung, kedelai yang hanya 0,5 hektar per rumah tangga petani dan juga tidak bisa bertumpu pada kepemilikan sapi potong/perah rakyat yang hanya 1-2 ekor per rumah tangga, kepemilikan ayam pedaging dan petelur 2.000 ekor. Namun, harus dalam skala usaha tani yang ekonomis.
Poin utama untuk meningkatkan daya saing adalah dengan meningkatkan skala usaha tani, dan petani harus menjadi pemain utama. Untuk komoditas pertanian/pangan peningkatan skala usaha hanya bisa dilakukan dengan menambah areal baku lahan pertanian, dan skala kepemilikan atau pengolahan usaha pertanian oleh para petani. Menambah jumlah ternak peliharaan, dan efisiensi di semua lini.
Pada satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, masalah peningkatan kapasitas produksi petani belum menjadi perhatian. Pemerintah terjebak dalam segala kebijakan berbentuk subsidi atau bantuan, yang tidak memberi jaminan perbaikan pertanian dalam jangka panjang, rentan terjadi penyimpangan, kental nuansa politik serta melenceng dari Nawacita dan cita-cita hidup berbangsa.
(HERMAS E PRABOWO)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151216kompas/#/9/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar