Jumat, 28 November 2014
Swasembada pangan yang berdaya saing dan menyejahterakan petani merupakan syarat untuk memenangi persaingan dalam perdagangan pangan lingkup ASEAN. Sayangnya, hingga detik ini ketiga prasyarat utama itu belum satu pun bisa dipenuhi.
Ibarat pelari maraton, produsen pangan Indonesia sedang lumpuh. Kedua kakinya lunglai tidak bisa digerakkan. Parahnya lagi, perut si pelari kosong melompong sehingga tak bertenaga. Sekadar mau berdiri saja tidak bisa. Tidak berdayanya kondisi pangan Indonesia selama ini akibat negara salah mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, dan permodalan di sektor pangan.
Profil tiap-tiap komoditas pangan Indonesia cenderung mengkhawatirkan. Masalah seperti itu terdapat pada komoditas beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, unggas, serta aneka sayur dan buah-buahan.
Beras, misalnya, pada 2014 Indonesia harus impor 500.000 ton. Daya saing beras Indonesia rendah karena harga beras di Indonesia hampir dua kali lipat harga beras Vietnam. Komoditas ini juga belum menyejahterakan petani, apalagi petani gurem. Rata-rata pendapatan bulanan petani padi Rp 1,2 juta per rumah tangga petani. Angka ini jauh di bawah upah minimum provinsi yang paling rendah sekalipun.
Komoditas jagung yang berbasis pada benih jagung hibrida mempunyai daya saing. Harga jagung di Indonesia bisa kompetitif dibandingkan dengan jagung impor. Meski begitu, Indonesia masih harus mengimpor 3 juta ton jagung per tahun. Komoditas jagung juga belum menyejahterakan petani karena rata-rata berlahan sempit. Kondisi komoditas kedelai tidak jauh beda.
Bagaimana dengan daging sapi? Produksi daging sapi nasional berbasis ternak sapi rakyat. Daya saingnya rendah dan tidak ada kepastian pasokan daging sapi ke pasar. Tahun 2014 Indonesia mengimpor daging sapi 188.000 ton dalam bentuk daging, sapi siap potong, dan sapi bakalan.
Kondisi komoditas gula tidak kalah parah. Daya saing Indonesia rendah karena harga gula lokal lebih mahal Rp 2.000 per kilogram dibandingkan dengan gula Thailand.
Komoditas gula pun belum menyejahterakan petani karena rata-rata produktivitas di bawah 100 ton per hektar dengan rendemen rata-rata 7,5 persen. Hanya saja, rata-rata kepemilikan lahan tebu lebih dari 2 hektar.
Produksi daging ayam dan telur Indonesia melimpah. Tiap tahun produksi daging ayam di atas 1,7 juta ton. Sayang, harga ayam dan telur sering berfluktuasi dan cenderung lebih mahal daripada Malaysia.
Persoalan utama karena skala kepemilikan ternak unggas Indonesia relatif kecil. Selain itu, Indonesia belum mandiri dalam memproduksi ayam bibit.
Dalam komoditas sayuran dan buah, konsumen mulai tergiur produk negara lain. Buah dan sayuran lokal kurang mendapat perhatian sehingga impor sayuran dan buah terus meningkat.
Bergerak bersama
Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, aspek swasembada, aspek daya saing, dan aspek menyejahterakan petani harus bisa dipenuhi. Tidak bisa berat sebelah, mengutamakan yang satu mengabaikan yang lain.
Produksi komoditas pangan yang melimpah akan percuma karena tidak akan terserap pasar kalau tidak mempunyai daya saing. Begitu pula produksi pangan yang melimpah dan berdaya saing tidak akan berkelanjutan apabila tidak menyejahterakan produsen/petani.
Di sisi lain, keberhasilan menyejahterakan petani tidak banyak gunanya jika komoditas pangan itu tidak memiliki daya saing. Dalam kondisi pasar bebas MEA, produk yang tidak berdaya saing dalam harga dan kualitas pasti ditinggalkan konsumen.
Begitu pula apa artinya komoditas pangan yang bisa menyejahterakan petani dan berdaya saing, tetapi produksinya sedikit dan tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. Karena itu justru menjadi peluang negara lain ekspor pangan ke Indonesia.
Koordinasi
Untuk komoditas daging sapi, ada harapan baru. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantono mengatakan, pengembangan integrasi usaha sawit-sapi di perkebunan kelapa sawit akan mampu mendongkrak produksi dan daya saing daging sapi Indonesia. Biaya produksi dapat dipangkas dari 40 persen menjadi kurang dari 5 persen. Lebih efisien dibandingkan dengan daging sapi yang diproduksi berbasis padang penggembalaan.
Bagaimana dengan aspek kesejahteraan peternak? Para peternak harus bergabung dalam koperasi atau kelembagaan lain untuk membudidayakan sapi secara komunal. Program pendampingan dan keterlibatan swasta, BUMN, dan perguruan tinggi sangat menentukan.
Soal beras, tantangan utama Indonesia adalah keterbatasan lahan dan kecilnya skala produksi. Produktivitas tanaman padi Indonesia sudah lebih tinggi daripada negara pesaing seperti Thailand dan Vietnam, tetapi harga beras per satuan produksi masih kalah akibat skala produksi yang kecil.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sekaligus Plt Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Haryono memastikan upaya perluasan areal pertanaman padi seluas 1 juta hektar melalui perbaikan jaringan irigasi.
Ke depan produksi padi harus didukung penambahan lahan pertanian baru dengan jaringan irigasi baru.
Kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang dalam lima tahun masa pemerintahannya ingin membangun 25-30 waduk baru lengkap dengan jaringan irigasinya merupakan langkah awal yang tepat. Tak kalah penting, petani kecil harus diberi kesempatan menaikkan skala usaha dengan berbagai kemudahan akses ke sumber daya lahan.
Tantangan produksi gula, kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo, adalah memproduksi gula yang banyak dengan daya saing tinggi agar terserap pasar.
Kondisi perunggasan nasional di tengah ancaman perdagangan bebas ASEAN justru sedang bertikai di antara para pelakunya.
Produksi buah skala besar berbasis perkebunan buah rakyat harus dikembangkan. Khusus untuk sayuran, sudah saatnya Indonesia mengembangkan sayuran dataran rendah, sesuai potensi dan ketersediaan lahan.
Oleh: HERMAS E PRABOWO
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/141128kompas/?abilitastazione=#/54/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar