Jumat, 7 November 2014
Angka ramalan produksi tanaman pangan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin lalu (3/11) menyebutkan bahwa produksi padi, jagung, dan kedelai nasional pada tahun ini diperkirakan masing-masing sebesar 70,61 juta ton gabah kering giling (GKG) 19,13 juta ton pipilan kering, dan 921,34 ribu ton biji kering.
Itu artinya, bila dibandingkan dengan kondisi pada 2013, produksi padi diprediksi mengalami penurunan sebesar 0,67 juta ton (0,94 persen). Sementara itu, produksi jagung dan kedelai diperkirakan mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0,62 juta ton (3,33 persen) dan 141,34 ribu ton (18,12 persen).
Sejatinya, gambaran kinerja produksi yang dirilis BPS tersebut menunjukkan bahwa kedaulatan pangan untuk komoditas padi/beras, jagung, dan kedelai—yang merupakan pengejawantahan dari visi kemandirian ekonomi dalam Nawa Cita—masih sebatas mimpi yang harus diwujudkan oleh pemerintah Jokowi-JK.
Faktanya, penurunan produksi padi pada 2014 sejalan dengan seretnya realisasi pengadaan beras oleh Bulog. Diketahui, hingga akhir Oktober tahun ini, realisasi pengadaan beras baru mencapai 2,34 juta ton. Cukup jauh bila dibandingkan dengan kinerja pengadaan beras pada 2013 yang hingga Oktober sudah di atas 3 juta ton.
Konsekuensinya, bila Bulog hendak mempertahankan stok beras nasional agar tetap berada pada level aman hingga penghujung tahun, impor beras tak bisa dihindari. Diketahui, realisasi impor beras yang dilakukan Bulog pada tahun ini telah mencapai 50 ribu ton dari kuota impor sebesar 500 ribu ton.
Sementara itu, meski mengalami kenaikan, produksi jagung dan kedelai masih belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Impor jagung tahun ini diperkirakan bakal berada pada kisaran 3,6 – 4 juta ton, dan defisit kebutuhan kedelai nasional yang harus ditutupi dari impor diperkirakan bakal mencapai 2 juta ton.
Untuk menyetop impor beras, jagung, dan kedelai, solusi peningkatan produktivitas (hasil per hektar) yang ditawarkan pasangan Jokowi-JK saat kampanye pemilihan presiden sudah tepat. Tapi patut diperhatikan, impor pangan bukan melulu soal menggenjot produksi, tapi juga soal komitmen semua pihak.
Faktanya, impor jagung—yang sebagian besar digunakan untuk bahan baku pakan ternak—sebesar 3,2 juta ton pada 2013 dilakukan pada saat produksi jagung nasional mencapai 18,51 juta ton, yang sebetulnya lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhan nasional yang hanya sekitar 16 juta ton.
Soal angka produksi yang “ketinggian” mungkin ada betulnya. Tapi keengganan pengusaha pakan ternak untuk menyerap jagung produksi petani dengan alasan rendemen atau kadar air yang tidak sesuai standar adalah fakta yang terjadi di lapangan.
Selama ini, kita terlanjur dilenakan dengan solusi cepat dan murah lewat impor. Selan itu, importasi sejumlah komoditas pangan strategis telah lama menjadi ladang perburuan rente bagi mereka yang hendak mengeruk keuntungan. Karena itu, mewujudkan kedaulatan pangan sejatinya ibarat menelan pil pahit. Tentu tak mengenakkan bagi mereka yang telah terbiasa meneguk manisnya politik pangan murah dan perburun rente. (*)
Penulis adalah statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS). Tulisan ini pendapat pribadi.
http://indonesiana.tempo.co/read/24721/2014/11/07/kadirsst/mimpi-mewujudkan-kedaulatan-pangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar