Minggu, 9 November 2014
Apakah Anda berasal dari keluarga abdi negara, PNS ? Apakah Anda pernah merasakan enak dan pulennya beras jatah ? Beras jatah itu beras yang diberikan bulanan oleh pemerintah kepada PNS. Jatahnya bervariasi. Sesuai jumlah tanggungan. Namun jumlah tanggungan juga disesuaikan dengan pesan KB. Beras jatah itu dikeluarkan oleh Bulog. Makanya sering juga disebut beras bulog. Saya dulu hampir selalu merasakan beras jatah yang enak dan pulen. Sampai Bapak Saya pensiun dari Kepala Provost di Malang tahun 1980, rasa itu yang Saya rasakan. Namun, Saya kecele. Beras yang Kami makan ketika itu hasil rekayasa Bapak Saya. Bagaimana bisa ? Ini rahasianya.
Bapak punya keyakinan, bahwa beras sebagai makanan pokok, harus enak (dan pulen). Karena beras mengenyangkan. Sumber energi. Beliau juga memberikan paspor kepada Kami, anak-anaknya. Tidak boleh keluar rumah, jika belum sarapan. Jika beras tidak enak, bagaimana policy keluarga bisa jalan ? Atau bahkan banyak sisa nasi yang terbuang. Karena makan tidak habis. Jadi karak. Bahkan mubazir dan tidak tahu diri. Kok bisa ? Lha iya, sudah susah cari makan, beras ada, tapi tidak dimakan. Bahkan dibuang. Padahal masih banyak yang butuh nasi tho ?
Jika nasinya enak sekelas Beras Jawa. Sekelas Rojolele Cianjur. Atau Pandan Wangi. Maka kondisi sebaliknya yang diharapkan Bapak. Nasi enak, tapi lauknya kurang pas, tetap saja enak dilidah. Mulus ditelan. Nasi plus kecap, tetap enak. Nasi anget plus tempe penyet sambel bawang lengo jlantah (minyak bekas menggoreng ikan/daging) pun wuih sudah mantep. Nggamesi (lahap). Nasi pulen itu sebagai bahan utama. Pendampingnya apa pun sudah bisa melicintandaskan piring. Apapun lauknya, berasnya beras enak. Makanan akan licin tandas. Seperti slogan iklan minuman yang terkenal itu. Itu keyakinan Bapak. Dan itu betul. Terbukti.
Berangkat dari keyakinan itu, perekayasaan dilakukan. Bapak Saya semasa hidupnya selalu mendapatkan beras jatah setiap akhir bulan. Tapi uniknya, beras jatah itu pun mampir dulu ke toko beras untuk ditukarkan dengan beras yang lebih baik kualitasnya. Biasanya 2-3 kg beras jatah ditukar dengan 1 kg beras bagus. Baru Bapak membawanya pulang dengan Zundap. Setibanya di rumah, dimasukkannya ke peti beras. Lumbung keluarga.
Ternyata Bapak sedari dulu memberikan pelajaran dan mempraktekkan konsep total cost ownership (TCO). Daripada banyak tapi secara total value tidak optimal. Bahkan ada yang terbuang. Loss. Lebih baik sedkit, bisa jadi lebih mahal, namun dirasakan manfaatnya secara optimal. Memuaskan secara jangka panjang. Biaya keseluruhan pada akhirnya lebih baik pula. Beliau ingin pelanggannya (anggota keluarga) puas. Misi perusahaan (keluarga) tercapai. Berupaya dengan memberikan alternatif materials.
Perekayasaan ini yang beras jatah itu terasa pulen. Tapi setelah melewati rekayasa. Perekayasaan lewat toko beras. Barter. Namun, Saya yakin masih banyak yang mengolah apa adanya. Semoga perekayasaan Bapak Saya dapat menjadi inspirasi Kita semua. Terutama para pengambil keputusan di negeri yang Kita cintai ini.
by Ari Wijaya
http://trainerlaris.com/m/blogpost?id=6461460%3ABlogPost%3A86788
Tidak ada komentar:
Posting Komentar