Selasa, 04 November 2014

Mencapai Kedaulatan Pangan

Selasa, 4 November 2014

DENGAN akan diberlakukannya perdagangan bebas di kawasan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) pada awal 2015 nanti, Indonesia harus segera berbenah dengan segala kekurangannya untuk bersiap menghadapi gempuran hasil produksi pertanian dari negara-negara lain, yang memiliki potensi harga jual lebih murah serta kualitas produk yang jauh lebih baik.

Kenyataannya, masyarakat semakin banyak mengemari dan memilih atas hasil impor produk pertanian dari negara lain dan sudah banyak beredar luas di pasar tradisional. Badan Pusat Statistik (BPS-2014) mencatat grafik impor produk pertanian dalam kurun waktu sepuluh tahun, yakni dari 2003-2013, terus meningkat. Pada 2003, impor produk pertanian Indonesia di angka USD3,34 miliar, dan selama sepuluh tahun kemudian terjadi peningkatan empat kali lipat angkanya menjadi USD14,9 miliar.

Adanya lonjakan impor produk pertanian tersebut dari tahun ke tahun, terutama impor holtikultura disebabkan oleh tidak sebandingnya produktivitas di bidang pertanian dengan kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Ini tercermin dari potret luas lahan pertanian yang semakin menurun hingga mencapai  lebih dari 5 juta hektare (ha) atau menurun sebesar 16,32 persen dari 2003, tercacat seluas 31,2 juta ha menjadi 26 juta ha di 2013.

Kurang mampunya memenuhi kebutuhan konsumsi produk pertanian nasional juga terlihat dari kemampuan modal para petani Indonesia yang masih sangat minim, akses kredit dan teknologi yang terbatas, dan musim yang bersifat anomali, serta distribusi produk pertanian ke seluruh wilayah pemasaran yang juga masih sangat terbatas.

Untuk menyelamatkan pertanian dan memperkuat kedaulatan pangan yang berorientasi kepada kesejahteraan para petani serta pemenuhan kebutuhan konsumsi nasional, maka perubahan dari sejumlah alternatif kebijakan yang memungkinkan untuk segera dilakukan dalam jangka pendek adalah perubahan strategis kebijakan atas distribusi pertanian.

Mengubah Kebijakan Distribusi Pertanian

Demi mencegah semakin meluasnya krisis ketahanan pangan di Indonesia, sesungguhnya kebijakan distribusi pangan hasil olahan pertanian memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan. Poin terpenting adalah perubahan kebijakan distribusi pertanian harus segera dilaksanakan, antara lain:

* Pengaturan tata niaga bahan pangan perlu diatur oleh suatu Badan Pemerintah, dan jangan diserahkan pada mekanisme pasar yang sifatnya oligopoli, dan bahkan untuk komoditas tertentu di monopoli oleh beberapa korporasi;
* Menetapkan harga dasar terutama bagi kebutuhan pokok yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak kepada keluarga petani. Harga tersebut tidak boleh tergantung kepada harga Internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan, harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani, namun sesuai juga dengan kemampuan masyarakat konsumen dan tidak merugikan;
* Melakukan pengaturan ekspor-impor produk pertanian disesuaikan dengan kebutuhan dan bukan melihat profit/keuntungan yang diperoleh. Hal ini dimaksudkan ketika kebutuhan pangan di dalam negeri belum terpenuhi maka tidak melakukan ekspor bahan pangan ke luar negeri, disamping itu untuk melindungi petani di dalam negeri dari praktek dumping produk pertanian luar negeri dengan cara tidak mengurangi ataupun menghapuskan pajak impor;
* Peran pemerintah, dalam hal ini Bulog, sebagai lembaga yang berperan menjaga stabilitas harga dan persediaan pangan di dalam negeri, secara luas harus ditegakkan kembali terutama menyangkut bahan pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula. Selain itu Bulog bisa menjalankan fungsinya sebagai Public Service Obligation bukan semata-mata sebagai lembaga pencari laba justru harus sebagai lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi sebagai pelayanan publik;
* Yang terakhir, pemerintah dapat mengambil langkah tegas untuk mencegah terjadinya spekulasi hasil produk pertanian yang dapat merugikan masyarakat luas, dengan perlu melakukan investigasi dan penyelidikan menyeluruh terhadap kemungkinan penimbunan bahan pangan yang kerap dilakukan oleh para pelaku bisnis pangan dan para spekulan dalam mencari keuntungan.

Orientasi Ketahanan Pangan Menuju Kedaulatan Pangan

Kebijakan ketahanan pangan sangat penting artinya untuk menjamin kecukupan penyediaan pangan secara nasional. Tetapi karena kebijakan ketahanan pangan yang selama ini menjadi acuan bagi pembangunan pertanian di Indonesia, dirasakan masih kurang menaruh perhatian yang lebih terhadap upaya peningkatan kesejahteraan petani, sehingga pelaksanaan kebijakan tersebut dapat dikatakan belum mencukupi.

Secara konseptual, kedaulatan pangan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang 18 tahun 2012 Tentang Pangan, dikatakan bahwa negara melindungi sistem produksi pertanian serta perdagangannya untuk mencapai sistem pertanian yang berkelanjutan dan mandiri. Selain itu, dalam kedaulatan pangan juga mencakup proteksi dan mengatur kebijakan pertanian nasional dalam melindungi pasar domestik dari sistem dumping negara lain agar kelebihan produksinya dapat dijual murah, pengaturan impor sektor pertanian perlu lebih diawasi dengan sangat serius.

Bahan pangan yang dapat diproduksi di dalam negeri perlu lebih dikembangkan sehingga peningkatan produksi dapat segera teralisasi serta ketersediaan lahan berkelanjutan untuk petani dapat secepatnya di jamin oleh pemerintah.

Dengan demikian, kedaulatan pangan, kedaulatan petani, dan kedaulatan negara merupakan satu kesatuan utuh karena ketiganya saling mempengaruhi dan saling mendukung. Tegasnya perlu perubahan pandangan yang lebih maju, dari hanya sekedar mencapai ketahanan pangan menuju terwujudnya kedaulatan pangan nasional dengan mensyaratkan perwujudan kedaulatan petani dan kedaulatan negara.

Oleh: Oktavio Nugrayasa, SE, M.Si
Sekretariat Kabinet (Setkab) Republik Indonesia

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/11/04/313938/mencapai-kedaulatan-pangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar