Sabtu, 22 Februari 2014
Visi kepemimpinan, agenda setting partai politik, dan kelindan kepentingan pemilik modal mengetengahkan sejumlah keniscayaan orientasi. Rakyat sebagai pemilik suara dan kedaulatan pun hanya menjadi objek yang terkalahkan oleh keterwakilan elite, sehingga terbentanglah kesenjangan antara ide dengan kenyataan.
Begitulah kira-kira deskripsi persoalan posisi kepemimpinan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, harihari ini. Niat mundur Risma karena merasakan tekanan politik yang tidak proporsional terkait dengan kebijakan- kebijakannya dalam memajukan Surabaya, menggambarkan betapa orang baik tidak selalu mendapat tempat semestinya dalam konstelasi kepentingan politik.
Capaiancapaian prestasi , bahkan pengakuan internasional tidak cukup untuk menciptakan kebanggaan bahkan di lingkungan politiknya tatkala ada kepentingan yang tak terakomodasi.
Indonesia punya mutiara-mutiara kepemimpinan dengan skala masing-masing pada diri Tri Rismaharini, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ridwan Kamil untuk menyebut sebagian yang memberi warna.
Pengakuan, capaian, dan kebutuhan rakyat, ternyata tak selalu paralel dengan dukungan yang seharusnya didapat tanpa reserve dari kekuatan-kekuatan politik. Keinginan mundur Risma memuat pesan kuat tentang kecenderungan itu.
Apakah ”kesalehan kepemimpinan”, dengan orientasi bekerja untuk rakyat, demi kemajuan daerah, dengan capaian yang diakui secara terukur, akan serta merta dianggap sebagai klilip ketika kelindan kekuasaan dan modal merasa terusik?
Apakah kemelejitan popularitas pemimpin yang baik itu disikapi sebagai ancaman bagi elite partai? Apakah keteguhan, kelurusan, dan kejujuran dianggap sebagai ”kekurangan” karena ia ”tak berguna” bagi partai?
Orang-orang seperti Risma, Jokowi, dan Ahok harus diakui sebagai pemimpin yang berani memilih ”jalan sunyi”, tapa ngrame di tengah gejolak kepentingan hedonispragmatis di langit politik kekuasaan.
Mereka memilih jalan asketis untuk total berpihak kepada rakyat dengan visi, konsep, kebijakan, dan perilaku kepemimpinan. Kesalehan seperti itulah yang rupanya dipandang sebagai ancaman bagi kekuatan-kekuatan yang pro-mindset instan.
Sebagai pemilik kedaulatan, rakyat seharusnya terganggu oleh berbagai usikan terhadap para pemimpin itu. Jika kepemimpinan Risma memang merupakan kebutuhan bagi rakyat, keberpihakan harus ditunjukkan dengan mengaspirasikannya lewat para wakil di DPRD.
Mobilisasi opini publik tentang pentingnya keberadaan sang wali kotalah yang mestinya membuka mata dan hati para elite politik: mereka sejatinya tengah melawan kehendak rakyat.
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/22/253376
Tidak ada komentar:
Posting Komentar