Senin 24 Februari 2014
BICARA pangan di Indonesia, tidak akan mungkin melupakan beras. Beras komoditas strategis, karena dikonsumsi 90 persen orang Indonesia.
Berdasar data Badan Pusat Statistik 2012, di perkotaan, beras memberikan kontribusi 26,92 persen terhadap kenaikan garis kemiskinan. Di perdesaan lebih besar lagi, mencapai 33,38 persen.
Di Indonesia beras diproduksi oleh 18 juta rumah tangga petani. Melibatkan 200.000 usaha penggilingan padi, 180.000 di antaranya penggilingan skala kecil. Sentra produksi beras di 97 kabupaten di 9 provinsi.
Bila dihitung secara kasar, lebih dari 100 juta penduduk Indonesia hidupnya terkait secara langsung atau tidak langsung dengan industri beras, mulai dari hulu seperti sarana produksi, budidaya, pengolahan, hingga perdagangan.
Meski bernilai strategis, komoditas beras di Indonesia belum dikelola dengan baik. Pada 2013 inflasi karena lonjakan harga bahan makanan, termasuk beras, mencapai 11,35 persen.
Naiknya inflasi tentu menggerus daya beli masyarakat, utamanya kelompok masyarakat miskin di Indonesia yang pada September 2013 jumlahnya mencapai 28,55 juta jiwa.
Indikator buruknya pengelolaan beras tampak dari politik perberasan nasional. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa negara harus menjamin akses pangan masyarakatnya. Oleh karena itu, harga pangan harus bisa terjangkau daya beli masyarakat.
Di sisi lain agar petani tetap mau berproduksi, harus bisa menjual gabah/beras pada tingkat yang wajar. Yang menguntungkan. Dengan kata lain, harga beras harus berada pada tingkat yang pas. Pas buat petani, pas buat konsumen.
Kalimat itu terasa indah kedengarannya. Enak dirasakan, terkesan adil. Dan juga menunjukkan kebijaksanaan pengelola negara. Tapi kalimat itu sekaligus juga ”menjerumuskan” negara.
Lupakan dulu politik perberasan kita! Sejenak kita tengok kebijakan perdagangan global Indonesia, yang menganut pasar bebas. Sudah tidak asing lagi prasyarat utama agar Indonesia mampu bertahan hidup di era perdagangan bebas adalah memenangkan kompetisi.
Agar komoditas beras Indonesia berdaya saing, produksi harus efisien. Untuk mencapai hal itu, skala produksi harus besar. Faktanya skala usaha tani padi di Indonesia kecil. Lahan pertanian padi hanya kurang dari 8 juta hektar, dikelola oleh 18 juta rumah tangga petani. Tiap petani rata-rata mengelola kurang dari 0,3 hektar lahan pertanian.
Kecenderungan luas kepemilikan lahan pertanian padi terus menurun akibat fragmentasi lahan sebagai dampak sistem bagi waris. Belum lagi masalah alih fungsi lahan.
Meski lima presiden Indonesia berganti dan sebentar lagi presiden habis masa jabatannya, tidak satu pun Presiden RI yang mampu menyelesaikan persoalan fragmentasi dan konversi lahan pertanian.
Karena politik pangan Indonesia mendua, salah satu solusi jalan pintas yang diambil pemerintah untuk menjaga harga jual gabah/beras pada tingkat yang pas bagi petani adalah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah.
Dampak harga patokan pemerintah yang selalu naik, harga beras lokal Indonesia sejak empat tahun lalu melebihi harga beras dunia. Bahkan hampir menembus dua kali lipatnya. Satu kenyataan: daya saing beras Indonesia kalah! Ke depan, beras sebagai komoditas akan menjadi persoalan utama yang berpotensi jadi bom waktu. (HERMAS E PRABOWO)
http://epaper.kompas.com/kompas/books/140224kompas/#/17/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar