JAKARTA - Pemerintah perlu menaikkan bea masuk (BM) kedelai hingga 20% guna mewujudkan swasembada komoditas tersebut pada 2017 mendatang. Pasalnya, saat ini, BM kedelai dipatok 0% yang membuat para petani enggan untuk menanam komoditas tersebut. Selain harganya jauh lebih murah, kualitas kedelai impor juga lebih bagus sehingga lebih disukai konsumen.
Selain mendongkrak BM secara signifikan, swasembada kedelai juga bisa terwujud apabila pemerintah menaikkan harga pembelian kedelai petani (HBP) dari Rp 7.600 per kilogram (kg) menjadi Rp 8.000-9.000 per kg. Di sisi lain, pemerintah juga harus memangkas rantai tata niaga kedelai dan mengembangkan soybean estate di sejumlah sentra kedelai.
Misalnya, 10 ribu hektare (ha) lahan kedelai dikerjakan dengan cara mekanisasi sehingga betul-betul produktivitasnya meningkat dan biaya produksi menurun. Namun hal tersebut memerlukan biaya subsidi yang sangat besar dan mungkin yang menikmati justru pengusaha-pengusaha besar yang mau investasi.
Ketua Gabungan Pengusaha Tahu dan Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan, selama ini swasembada kedelai tidak pernah bisa tercapai. Alasannya, biaya produksi kedelai nasional lebih mahal daripada kedelai Amerika Serikat (AS). Perbedaan itu akibat Pemerintah AS yang memberikan subsidi penuh kepada para petaninya.
"Untuk mewujudkan swasembada kedelai, petani harus dibuat semangat menanam. Di antaranya dengan mengenakan BM kedelai dari 0% menjadi 20%," kata Aip saat dihubungi, Jumat (26/12).
Aip mengatakan, dengan menaikkan BM kedelai, sedikitnya terdapat dua keuntungan yang diperoleh dan akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan petani. Keuntungan itu adalah harga kedelai impor, terutama dari AS, akan melonjak tinggi 20%. Sehingga tidak ada lagi persamaan antara harga beli dengan harga jual di Indonesia yang selama ini dinikmati oleh importir.
Keuntungan lainnya adalah pemerintah bisa memperoleh devisa tambahan. Apabila sekarang impor kedelai sekitar USD 1 miliar dengan BM 20% maka akan ada pemasukan USD 225-250 juta.Terkait impor, kata Aip, pemerintah hendaknya juga mengatasi prosesnya. Selama ini impor kedelai tidak diawasi sehingga terjadi kompetisi bebas. Pasalnya, impor kedelai tidak perlu menggunakan sistem kuota seperti daging.
"Pengaturan impor perlu diserahkan kepada Perum Bulog. Idealnya pemerintah meniru skema impor beras untuk kedelai. Sekarang ini, siapa saja yang mau impor silakan. Mau 10 ribu ton, 100 ribu ton, atau 1 juta ton sekalipun, enggak dilarang. Ini bukti yang kuat akan membunuh yang kecil. Bagaimana koperasi mau maju kalau begitu,” ujar Aip.
Menurut Aip, petani kedelai akan bergairan untuk menanam komoditas tersebut apabila bisa mendapatkan keuntungan tambahan. Di antaranya dengan kenaikan HBP yang selama ini Rp 7.600 per kg dinaikkan menjadi Rp 8.000-8.500 per kg. Apalagi bila kenaikkannya menjadi Rp 9.000 per kg atau 1,5 kali dari harga beras.
"Dengan begitu petani kedelai akan semangat menanam kedelai karena harganya akan kompetitif dengan komoditas pertanian lainnya," ucap Aip.
Aip menceritakan, selama ini petani kedelai malas menanam karena keuntungan yang didapat kalah dengan padi. Dengan menggunakan lahan 1 hektare (ha), petani bisa mendapatkan 4 ton. Dalam sekali panen, petani bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp 25 juta dengan biaya produksi Rp 8-9 juta maka keuntungan bersih petani sekitar Rp 15-16 juta.
Sebaliknya, dengan lahan yang sama, produksi kedelai hanya 1,2-1,4 ton. Dengan harga Rp 7.600 per kg, petani kedelai hanya mendapatkan Rp 10 juta. "Kalau begini, petani lebih suka menanam padi dari pada kedelai," kata Aip.
Adapun kenaikan BM maupun pengawasan impor, tata niaga kedelai juga perlu diperbaiki. Seharusnya penjualan kedelai tidak melalui grosir, distributor, atau spekulan. Sebaliknya, penjualan atau distribusi kedelai harus melalui Bulog atau Gapkoptindo, sehingga kedelai petani bisa langsung ke perajin tahu tempe.
"Dampaknya, harga tempe tidak akan melonjak luar biasa. Kalaupun harga tahu tempe naik, paling hanya 5-10%. Misalnya, harga tempe goreng Rp 500, nanti kalapun dinaikkan cukup menjadi Rp 550," kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Yusni Emilia Harahap.
Menurut Emilia, perlunya dukungan regulasi guna mendorong produksi kedelai domestik. Produksi kedelai tidak akan meningkat apabila keran impor justru diperlebar. Kebijakan itu justru tidak memihak pada pelaku industri kedelai dalam negeri.
"Untuk mewujudkan kedaulatan pangan maka regulasi harus diharmonisasi. Kami melihat saat ini semua kementerian mulai menyatukan langkah dan ada koordinasi yang kuat. Akan sulit mencapai kedaulatan pangan kalau regulasi tidak berpihak. Produk dalam negeri harus bisa bersaing dan biaya produksi lebih efisien," ujar Emilia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar