Jumat, 12 Desember 2014
Jakarta_Barakindo- Rencana Menteri BUMN, Rini Soemarno untuk mengganti beras raskin dengan uang tunai, dinilai banyak kalangan akan membuat Keluarga Miskin (Gakin) terancam kelaparan secara massal. Pasalnya, uang justru berpotensi besar membuat tujuan awal program Raskin melenceng, yang semula untuk mentransfer energi bagi peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan produktivitas SDM Gakin.
Hal itu diungkapkan, Khudori, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, dalam sebuah tulisannya seperti dilansir Bulog Today, Kamis (11/12/2014).
Menurutnya, selama setahun Gakin mendapat 15 Kg beras dengan menebus Rp 1.600/Kg. Dengan bantuan itu, diasumsikan 40-60 persen total kebutuhan beras bulanan keluarga miskin dan rawan pangan bisa dipenuhi. Lewat subsidi ini, kelompok miskin akan bisa mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein.
“Rawan pangan tak terjadi. Mereka tidak mengurangi biaya pendidikan dan kesehatan untuk dialihkan ke keranjang pangan karena ada Raskin. Berbeda apabila tidak ada Raskin. Ketika harga beras naik, warga miskin yang 60-70 persen pengeluarannya tersedot untuk pangan akan merealokasi keranjang belanja rumah tangga: pos kesehatan dan pendidikan akan dialihkan kepangan,” jelasnya.
Karenanya, lanjut pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), dan Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi itu, bukan mustahil kelaparan akan meruyak. “Saat ini jumlah penduduk miskin masih sebanyak 28,07 juta jiwa (11,37 persen). Pelbagai upaya telah dilakukan, tetapi penurunan jumlah penduduk miskin kian lambat sejak tahun 2000-an. Selain itu, jumlah penduduk yang defisit energi (kurang kalori) mencapai 30 juta jiwa. Status gizi anak di bawah lima tahun (balita-red) juga tidak mengalami perbaikan signifikan dalam 10 tahun terakhir,” ujarnya.
Tahun 2013 saja, kata Khudori, balita stunting mencapai 37,2 persen, dan yang kekurangan gizi 19,6 persen, serta 5,7 persen di antaranya berstatus gizi buruk. “Boleh jadi karena ini Indeks Kelaparan Global Indonesia tak kunjung membaik. Tahun 2013 indeks Indonesia mencapai 10,1 yang berarti termasuk indeks “kelaparan serius”, sama seperti tahun 2012. Makanya penggantian beras dengan uang berpeluang memperburuk indeks kelaparan,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan, bukan mustahil uang dibelikan pulsa atau rokok, bukan untuk belanja beras (pangan). “Jadi, berbeda dengan program lain, Raskin punya kaitan kuat dengan program pengembangan SDM (horizontal integration) dan program ketahanan pangan (vertical integration). Sebagai program transfer energi, keberhasilan Raskin akan membantu program lain seperti peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas SDM. Raskin bisa dipandang sebagai investasi SDM yang lebih tahan pelbagai risiko,” jelasnya lagi.
Menurut dia, Raskin bisa dipandang sebagai indirect income transfer. “Beras itu dibeli dari produksi petani kecil yang rentan oleh fluktuasi harga saat panen raya. Pembelian hasil produksi petani oleh Bulog lewat harga yang ditetapkan pemerintah merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar mereka mendapatkan insentif,” tandasnya.
Karenanya, ia menganggap ada keterkaitan yang kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah dan pemberian subsidi beras murah lewat Raskin pada kelompok miskin dan rawan pangan. “Apabila bantuan beras diganti dengan uang, tidak ada lagi kewajiban Bulog untuk membeli gabah/beras petani untuk memenuhi pagu Raskin,” katanya.
Akibatnya, tambah dia, tak ada lagi instrumen stabilisasi harga gabah/petani, sehingga harga menjadi rentan fluktuasi. “Ujung- ujungnya, inflasi sulit dikendalikan, karena beras penyumbang terbesar inflasi. Selain itu, hilang sudah mekanisme penyerapan gabah/beras domestik terbesar oleh Bulog. Dan bukan mustahil cadangan beras pemerintah akan sepenuhnya dipenuhi dari impor. Padahal, produksi beras domestik jauh dari memadai,” pungkasnya. (Redaksi)*
http://beritabarak.blogspot.com/2014/12/raskin-dihapus-gakin-terancam-kelaparan.html#more
Tidak ada komentar:
Posting Komentar