Selasa, 24 Desember 2013
Meski sah saja, kebijakan impor beras selalu menuai sentimen negatif dari publik. Bagi negara agraris seperti Indonesia yang luas lahan sawahnya mencapai 8 juta hektar, mengimpor beras sungguh keterlaluan. Bukti bahwa pemerintah tidak mampu mewujudkan kemandirian pangan. Karena itu, swasembada beras adalah sebuah harga mati.
Impor beras juga menggerus devisa negara. Sepanjang tahun 2010 hingga 2012, misalnya, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 4,4 juta ton. Beras impor sebanyak ini telah menggerus devisa lebih dari 10 triliun. Tentu alangkah lebih bermanfaat jika uang sebanyak ini digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, yang sebagian besar masih bergumul dengan kemiskinan.
Kabar baiknya, tahun ini Indonesia hampir dipastikan tidak mengimpor beras. Dengan kata lain, swasembada beras bakal direngkuh.
Sepanjang tahun 2013, harga beras relatif stabil. Nyaris tak ada gejolak harga yang berarti. Tahun ini, pengadaan beras oleh Bulog mencapai 3,45 juta ton, dan stok beras di gudang Bulog hingga akhir tahun di atas 2 juta ton. Lebih dari cukup untuk menjamin harga beras tetap stabil.
Ini tidak lepas dari keberhasilan pemerintah dalam menggenjot produksi padi hingga mencapai 70,87 juta ton gabah kering giling (angka ramalan II BPS) tahun ini. Moncernya kinerja Bulog dalam menyerap gabah/beras produksi petani juga mendukung. Sehingga, harga beras stabil dan stok beras lebih dari cukup hingga akhir tahun tanpa ada impor.
Sayangnya, meski produksi beras tahun ini melimpah, kesejahteraan petani—yang merupakan aktor utama dalam menggenjot produksi—justru begitu-begitu saja. Hal ini tercermin dari perkembangan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang cenderung melandai alias stagnan sepanjang 2013.
Diolah dari data BPS
Seperti diketahui, perkembangan NTP merupakan indikator yang kerap digunakan untuk melihat perkembangan tingkat kesejahteraan petani. Kenaikan nilai NTP menunjukkan perbaikan tingkat kesejahteraan petani, begitupula sebaliknya.
Sepanjang periode Januari hingga April 2013, nilai NTP bahkan terus mengalami penurunan secara konsisten. Itu artinya, tingkat kesejahteraan petani terus memburuk meski pada saat panen raya, di saat produksi berlimpah.
Ini mengkonfirmasi, pembangunan pertanian selama ini terlalu dititikberatkan pada peningkatan produksi secara aggregate dan cenderung abai terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Dengan tak kunjung dilaksanakannya reforma agraria sebagaimana yang dijanjikan, pemerintah seolah menutup mata bahwa peningkatan produksi yang terjadi sejatinya merupakan hasil perjuangan dan jerih payah para petani kecil.
Secara faktual, hasil Sensus Pertanian tahun 2013 yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (2 Desember) menyebutkan bahwa sebagian besar petani kita adalah petani gurem, dan rata-rata luas lahan sawah yang dikelola petani hanya sebesar 0,2 hektar. Ini merupakan sinyalemen bahwa distribusi penguasaan lahan di tingkat petani kian timpang dan dominasi petani kaya dengan akses penguasaan lahan yang luas.
Jadi, tidak usah heran bila kebanyakan petani tetap miskin meski pada saat yang sama produksi melimpah bahkan swasembada. Karena sejatinya, dampak ekonomi dari peningkatan produksi yang terjadi lebih dinikmati oleh para petani kaya. Sebaliknya, para petani kecil dan buruh tani tetap miskin. (*)
Kadir Ruslan
Penulis bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS)
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/12/24/di-balik-swasembada-beras-di-tahun-2013-619292.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar