Senin, 14 Juli 2014

Negeri yang Tidak Pernah Bersiap-Siap

Minggu, 13 Juli 2014

Pak Jokowi,
Andaikan Bapak ditetapkan KPU menjadi presiden, euforia menjadi pemenang dalam pesta demokrasi kiranya jangan sampai berlarut-larut. Banyak hal strategis yang menanti solusi dan gerak cepat Bapak dan pemerintahan mendatang, terutama mengenai ketahanan energi dan pangan negeri ini.

Invasi Rusia ke Ukraina dengan mencaplok Crimea kiranya membuka mata kita tentang arti bertetangga dengan negara superior. Untuk kepentingan geopolitik negara superior, segala sesuatu bisa dilakukan dengan alasan yang dibenar-benarkan sekalipun dengan konsekuensi menuai kecaman internasional.

Bahkan awal bulan April kemarin, perusahaan gas raksasa Rusia, Gazprom, telah menaikkan harga gas yang dijual ke Ukraina sebesar 44 persen. Dengan kenaikan harga itu, Ukraina kini berutang 2,2 milyar dolar kepada Gazprom. Kalau Ukraina terus menunggak, Gazprom secara legal berhak memutus aliran gasnya. Kelihatannya, Rusia seterusnya akan menggunakan komoditi gas sebagai alat politik untuk bertindak sesuka mereka dan alat negosiasi untuk mendapatkan apapun yang mereka mau dari Ukraina dan negara sekitarnya.
Di sinilah kita perlu menyalakan alarm mengenai konsep kedaulatan energi dan pangan. Negara yang tidak berdaulat di bidang energi dan pangan, tinggal menunggu waktu di-bully negara tetangganya yang lebih superior. Suka atau tidak, inilah kolonisme versi modern.
“Ekonomi Indonesia itu seperti orang yang sedang diinfus,” simpul Panglima TNI Jenderal Moeldoko dalam satu kesempatan. Seorang panglima yang baik adalah panglima yang bersikap “hope for the best, prepare for the worse” dalam bertetangga dengan negara-negara lain di kawasan. Indonesia memang negara yang cinta damai, tapi lebih mencintai kemerdekaannya. Karenanya, kita harus selalu bersiap-siap jika terjadi ancaman dari luar.
Jenderal Moeldoko, dalam kapasitasnya sebagai Panglima TNI, tentunya menyadari betapa rentan pertahanan negara ini ditinjau dari ketahanan pangan dan energi Indonesia, yang masih jauh dari kondisi berdaulat. Bahwa banyak sektor perekonomian Indonesia yang masih bergantung terhadap negara lain menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi kita semua. Bagaimana bisa berdaulat kalau garam saja kita impor, bahkan dari Singapura?
“Kalau infusnya ini dicabut, mati kita,” Jenderal Moeldoko mengingatkan. Baginya, sektor pertanian sangat diperlukan sehingga kedaulatan pangan menjadi hal yang wajib bisa diwujudkan. Bandingkan dengan kedaulatan pangan Cina. Mereka punya cadangan makanan hingga 2 tahun ke depan untuk memberi makan 1,4 milyar penduduknya. Padahal penduduk Indonesia yang perlu diberi makan baru 238 juta penduduk, belum sampai 20% dari penduduk Cina.
.Bagaimana mungkin negara kepulauan seperti Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan garamnya dan harus mengimpor dari negara kota seperti Singapura? Secara logika ini sudah tidak masuk akal, dan karenanya dengan jelas kita bisa menyimpulkan ada kebijakan dan tata kelola yang salah selama bertahun-tahun sehingga menghasilkan situasi seperti ini.
Selama sepuluh tahun terakhir, negeri ini berada di bawah kempimpinan nahkoda yang memegang gelar doktor dari IPB, tapi buah dari kepemimpinan SBY sungguh memprihatinkan. Menurut Tunggul Imam Panuju. Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan Ditjen PSP Kementerian Pertanian, diperkirakan terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian sebesar 80 ribu hektar/tahun atau 220 hektar/hari. Sementara menurut sensus penduduk terakhir BPS, laju pertumbuhan penduduk periode 2000- 2010 mencapai 1,49%. Lebih tinggi dibanding laju periode 1990-2000 yang hanya sebesar 1,45%.
Mulut yang perlu dikasih makan semakin banyak, sementara lahan untuk menyediakan makanan itu semakin berkurang. Ditambah dengan efek pemanasan global, semakin banyak dan sering daerah yang mengalami gagal panen karena cuaca dan musim yang makin tidak menentu. Masa depan apa yang menanti perut dari 238 juta penduduk Indonesia kalau hal ini berlanjut?

Presiden Soekarno pernah menegaskan; urusan pangan, urusan hidup mati rakyat, jangan sampai ada ketergantungan dari negara lain, tetapi harus mandiri. Dari beliau kita mengenal konsep Berdikari; Berdiri di Kaki Sendiri.
Seruan itu nampaknya sudah jadi jargon yang basa basi , karena Indonesia di bawah penerus Soekarno sepertinya lebih senang memenuhi kebutuhan pangannya dari aktivitas impor. Tidak ada blue print yang jelas bagaimana negara ini bisa berdikari dalam bidang pangan.
Ambillah contoh mengenai impor gandum. Impor beras hanya berkisar 0,3%, jauh lebih kecil dari impor gandum yang mencapai 20% dari total impor Indonesia. Impor beras sendiri sebenarnya tidak menunjukkan bahwa Indonesia kekurangan produksi beras. Produksi beras Indonesia sejatinya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Banyaknya produksi beras yang diserap oleh industri dan adanya kewajiban stok cadangan dalam bidang pangan yang sebenarnya membuat kita seolah-olah kurang. Karenanya, Indonesia terpaksa melakukan impor beras.
Berbeda dengan gandum, dari sisi supply Indonesia cuma mampu memenuhi 5-10% kebutuhan nasional saat ini. Mengetahui dengan pasti mengenai fakta ini, Pemerintah malah mempropagandakan “One Day No Rice” yang didasari persepsi harus adanya diversifikasi pangan, tidak boleh tergantung pada konsumsi beras saja.
Tidak heran kalau konsumsi gandum setiap tahun kemudian mengalami trend peningkatan yang signifikan. Menurut BPS, sampai bulan November, volume impor gandum selama 2013 mencapai 6,21 juta ton dengan nilai import: US$ 2,26 miliar (sekitar Rp 23 T, dengan asumsi US$1= Rp 10.200). Sementara beras yang didengung-dengungkan harus didiversikasi nilai impornya cuma US$ 124,36 juta. Bagaimana mungkin negeri ini justru mendorong penduduknya untuk mengganti pola pangannya dengan komoditas yang diimpor hampir 20x lipat dibanding komoditas yang mayoritas dikonsumsi saat ini?
Lebih tidak masuk akal lagi ketika kita tahu bahwa gandum adalah satu-satunya komoditas pertanian yang memiliki nilai tariff 0% (bebas pajak impor). Bagaimana negara ini justru mendorong penduduknya mengonsumsi komoditas yang belum mampu diproduksinya dan kemudian memberi fasilitas nilai tariff 0% untuk pihak yang membantu memperlebar jurang pemasukan dan pengeluaran negara itu?

Lebih memprihatinkan lagi kalau kita membedah soal kedaulatan energi kita. Negara seluas Indonesia, yang terdiri dari ribuan pulau dan dihuni hampir 238 juta penduduk, ternyata tidak memiliki cadangan Bahan Bakar minyak (BBM) sama sekali! Untuk negara yang sudah merdeka 68 tahun dan memiliki kekayaan alam yang melimpah, tidakkah hal ini terlalu mustahil untuk bisa terjadi?
Padahal, hampir semua negara di ASEAN punya cadangan BBM, seperti Malaysia dan Singapura yang punya cadangan BBM cukup hingga 3 bulan. Negara lain seperti Jepang, bahkan memiliki cadangan BBM hingga 7 bulan dan Amerika yang punya cadangan sampai bertahun-tahun.
Yang Indonesia baru mampu sisihkan saat ini hanyalah cadangan operasional BBM selama 18 hari. Itupun masih angka yang sangat minim dibandingkan negara sekawasan. Malaysia memiliki cadangan operasional 25 hari, Singapura memiliki cadangan operasional 30 hari, ditambah cadangan strategis 20 hari.
“Kita tidak punya strategi bisnis. Kalau ibarat perang, kita 3 hari saja meninggal (kalah). Pesawat ada, kapal ada, tapi kan (tangkinya) tidak bisa diisi dengan air,” simpul Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo mengenai kondisi ini dalam satu kesempatan.
Masalah kedaulatan dan kemandirian sektor pangan dan energi merupakan masalah penting yang harus menjadi perhatian pemimpin negara periode mendatang. Harga dan pembiayaannya harusnya tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak merealisasikannya karena ini berbicara mengenai kedaulatan kita untuk masa mendatang.
Sebagai contoh, untuk memperkuat kedaulatan energi, mengingat saat ini kita masih mengandalkan energi fosil sepenuhnya, memiliki kilang minyak sebenarnya adalah harga mati. Diperkirakan untuk membangun kilang minyak akan menelan biaya US$ 10-12 miliar. Tapi kalau negara seperti Malaysia dan Singapura mampu memiliki kilang minyak sendiri, secara logika tentunya Indonesia lebih dari mampu dan bisa untuk membangun. Bahwa hampir 68 tahun negeri ini tidak punya kilang minyak hanya bisa kita pahami bahwa bukan karena tidak bisa atau mampu, tapi semata-mata karena Pemerintah Indonesia tidak mau atau bersungguh-sungguh mewujudkan kedaulatan energi.
Bagaimana mungkin untuk hal se-vital, seperti kilang minyak, ini Indonesia tidak mampu memiliki, tapi negeri yang sama mampu membeli pesawat kepresidenan yang menghabiskan total dana mencapai US$ 91 juta, atau kurang lebih Rp 864 miliar?
Jangankan siap menghadapi serangan dari negara lain, menghadapi Multi National Company (MNC) yang beroperasi di Indonesia saja kadang-kadang Pemerintah kita berada di posisi tawar yang lemah. Yang terakhir terekspose adalah keengganan PT Freeport Indonesia membayar dividen yang seharusnya diterima Pemerintah sebesar Rp 1,5 Trilliun hanya karena hasil rapat umum pemegang saham memutuskan tidak akan menyetor dividen ke pemerintah. Padahal, Freeport Indonesia sudah mencatatkan keuntungan Rp 6 Trilliun, hanya untuk tahun 2013 saja. Pemerintah jadinya seperti ibu kost yang harus mengejar-ngejar anak kostnya membayar apa yang menjadi kewajibannya.
Entah mereka yang ada di posisi decison maker selama ini tidak sadar betapa pentingnya kedaulatan energi dan pangan atau memang sengaja dibuat tidak menyadari ini dengan berbagai hal dan cara. Di negeri yang mantan Ketua Mahkamah Konstitusinya, Akil Mochtar, tertangkap tangan menerima suap seperti Indonesia ini, kadang-kadang memang hal yang hitam bisa dibuat jadi terlihat putih.
Siapapun presiden mendatang, perihal mengenai kedaulatan energi dan pangan ini hendaknya menjadi prioritas utama. Tanda-tanda bahwa kita mulai dilecehkan negara kawasan hendaknya menjadi intropeksi untuk segera melakukan perubahan yang signifikan.
Malaysia yang dulu pernah diganyang Soekarno, sekarang malahan dengan gampang dan santainya membangun mercu suar di Tanjung Datuk, Kalimantan Barat. Pertanda yang jelas tentang bagaimana posisi tawar kita di mata negara sekawasan kita.
Sudah saatnya bagi presiden mendatang untuk berhenti berpura-pura tidak mengetahui situasi ini. Sudah saatnya presiden mendatang berhenti sibuk mengurusi pencitraan dirinya, partai politiknya, bahkan hobinya. Mungkin cuma di Indonesia ada presiden aktif yang meluncurkan biografinya tatkala banjir besar melanda ibukota negara. Mungkin juga cuma di Indonesia ada presiden aktif yang sempat-sempatnya merekam album lagu di tengah-tengah tingkat pengangguran yang mencapai 7,39 juta jiwa.
Pak Jokowi, andai Bapak terpilih menjadi presiden, kami segenap rakyat berdiri di belakangmu untuk melakukan perubahan yang signfikan. Negeri ini tidak butuh orang pintar, tapi simply hanya membutuhkan sosok yang benar-benar mencintai rakyatnya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Orang yang senang melihat rakyatnya senang, dan bersusah hati tatkala melihat rakyatnya bersusah hati.
Sejarah peradaban manusia mencatat selalu adanya campur tangan Ilahi ketika suatu negeri dilanda kekacauan yang berlarut-larut. Ada figur penguasa yang kemudian lahir dari arus bawah untuk membawa perubahan yang berarti bagi masyarakat. Orang Jawa menyebutnya Satrio Piningit, orang Cina menyebutnya pemegang Takdir Langit.
Andai Bapak jadi presiden, kami percaya itu adalah bentuk campur tangan Ilahi mengingat background Bapak dan dari mana semua kisah ini bermula. Karena itu, harap selalu diingat kalau amanah ini bukan lagi amanah dari rakyat semata, tapi amanah sebagai orang yang dipercaya memegang Takdir Langit.
Merdeka!

Penulis Muda

http://politik.kompasiana.com/2014/07/13/negeri-yang-tidak-pernah-bersiap-siap-664137.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar