Rabu, 16 Juli 2014
Mafia impor pangan menjadi topik panas dalam beberapa kali debat calon presiden dan calon wakil presiden yang digelar belakangan ini. Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla bahkan secara tegas mencantumkan pemberantasan mafia impor pangan dalam program prioritas visi-misi mereka. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dalam beberapa kesempatan pun mendesak pemerintah agar serius memberantas mafia impor pangan.
Bukan cuma impor pangan, mafia juga disebut-sebut bermain dalam impor migas. Mafia impor minyak selama ini disinyalir berkonspirasi untuk menjegal setiap upaya memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau menaikkan harga BBM. Sebab dengan harga BBM murah, konsumsi domestik tentu melonjak dan sulit dikendalikan, sehingga ketergantungan terhadap impor minyak pun kian tinggi. Kita tahu, lebih dari separuh konsumsi BBM nasional saat ini masih harus diimpor. Mafia impor minyaklah yang mereguk untung dari lonjakan impor.
Tapi celakanya, baik mafia pangan maupun mafia minyak sulit dilacak, dibuktikan, dan belum tersentuh hukum. Kekuatan modal dan politik mereka membuat aparat negara seperti tidak berdaya untuk melacaknya. Namun selalu muncul suara-suara bahwa keberadaan mereka nyata-nyata ada.
Setiap komoditas yang permintaan dan suplainya tidak seimbang berpotensi menumbuhkan mafia impor untuk mengatasi kekurangan pasokan. Selama ini di Indonesia dikenal kelompok Tujuh Samurai yang mengendalikan impor gula. Sedangkan impor kedelai dikuasai oleh kelompok Empat Naga yang juga mengindikasikan adanya kartel.
Kartel pangan rupanya tidak hanya terjadi di pasar domestik, tapi juga di pasar internasional. Di pasar dalam negeri, komoditas strategis telah dikuasai oleh pengusaha-pedagang yang punya dana besar, lobi politik yang kuat, punya akses ke produsen, dan menguasai jalur distribusi.
Sepak terjang mafia impor jelas-jelas merugikan perekonomian nasional dan rakyat secara keseluruhan. Sebab, mereka mampu mengatur harga. Karena mafia ini bukan tunggal dan melibatkan sejumlah pelaku, praktik mereka tak ubahnya sebuah kartel. Padahal, praktik kartel jelas dilarang karena melanggar aturan persaingan usaha yang sehat.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, antarpelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Perilaku mafia impor, khususnya pangan, ikut andil besar dalam memperburuk laju inflasi. Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi bergejolak lebih diakibatkan oleh fluktuasi harga pangan (volatile food) karena permainan para mafia impor pangan. Harga pangan yang tidak stabil membuat Indonesia sulit untuk mewujudkan inflasi yang rendah, meski inflasi inti (core inflation) terjaga di level 4%-an dalam beberapa tahun terakhir.
Itulah sebabnya, kita harus mendukung upaya Jokowi-JK untuk memberantas mafia pangan dan mafia-mafia lain, termasuk mafia migas. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus memiliki taji dan nyali yang lebih kuat, karena banyak kasus dugaan kartel yang sulit dibuktikan. Atau terkadang KPPU kalah dalam persidangan karena tidak memiliki bukti cukup. KPPU harus bekerja sama erat dengan Kementerian Perdagangan untuk dapat membongkar mafia impor.
Di lain sisi, pemerintah harus membersihkan aparat-aparat yang terlibat dalam mafia impor. Reformasi birokrasi harus menyentuh ke ranah ini. Sebab, tidak mungkin mafia impor bisa eksis tanpa dukungan birokrasi, aparat, atau penyelenggara negara lainnya. Mafia impor bisa berawal dari pemberian izin kuota impor pangan hingga penunjukan langsung perusahaan yang menjadi pengimpor.
Selain memberdayakan KPPU lewat UU Antimonopli, Indonesia kini sudah memiliki perangkat hukum untuk mengantisipasi importir nakal, yakni Undang Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Sebagai UU baru, ia akan lebih efektif dan bergigi jika dilengkapi dengan peraturan turunan yang komprehensif. Janji pemerintah untuk merevitalisasi Bulog sebagai penyangga harga sejumlah komoditas strategis juga harus segera direalisasikan.
Lebih dari itu, sudah saatnya pemerintah menata dan membenahi total sistem produksi, distribusi, dan logistik yang ada. Pemerintah pasti mengetahui seluruh data importir, pedagang besar, dan distributor yang menguasai perdagangan komoditas. Keberadaan mereka mesti diinventarisasi dan dipetakan ulang.
Atas nama rakyat, negara tidak boleh dikalahkan oleh ulah segelintir penjahat perdagangan ini. Apalagi menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015, jaringan mafia impor domestik bisa lebih menggurita karena dapat bersekongkol dengan mafia-mafia perdagangan negara lain di kawasan ASEAN.
http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/3533-mafia-impor.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar